Type something and hit enter

author photo
Oleh On
Keharmonisan dalam Akulturasi
Masyarakat Tionghoa dan Jawa di Lasem

Tiongkok Kecil Heritage Lasem
Tiongkok Kecil Heritage Lasem
       Membicarakan tentang sejarah, maka kita tidak bisa memungkiri bahwa Lasem tidak terlepas dari sejarah. Kota kecil ini merupakan kota kuno yang berada di pesisir utara pulau Jawa. Terletak di Kabupaten Rembang jalur pantura Semarang-Surabaya, 12 km dari pusat kota. Kota yang dahulu merupakan kerajaan bawahan Majapahit ini pernah menjadi pusat perdagangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masanya. Pada saat itu pedagang-pedagang dari luar nusantara menjual dagangannya di wilayah Majapahit. Tak terkecuali para pedagang dari Tiongkok. Kedatangan mereka guna menjual kain dan tegel (keramik) untuk penduduk Majapahit.
       Rombongan dari tiongkok pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Jawa tepatnya di wilayah Lasem. Pada saat itu rombongan dipimpin oleh Cheng Ho dengan tangan kanannya yaitu Bi Nang Un. Kedatangan mereka disambut baik oleh penguasa setempat dibawah kepemimpinan Wijaya Badra. Bahkan mereka diberikan sebidang tanah untuk menjalankan usaha dagangnya. Mereka juga membangun rumah khas dari negaranya. Kemudian Bi Nang Un beserta istri dan beberapa anak buahnya menetap di Lasem. Sedangkan Cheng Ho dan sebagian besar prajuritnya kembali ke negeri asal.

       Na Li Ni yang merupakan istri dari Bi Nang Un pun mulai bisa berbaur dengan masyarakat setempat. Dia mengajarkan membatik kepada masyarakat pribumi sebagai rasa terima kasihnya. Dari Na Li Ni inilah pribumi Lasem mulai bisa membatik. Wilayah Lasem yang merupakan wilayah pesisir ditambah dengan seni batik yang diajarkan Na Li Ni yang berasal dari Tiongkok, akhirnya memunculkan perpaduan seni batik khas pesisiran Lasem. Kemudian biasa disebut “Batik Lasem”. Dimana motif pesisir diambil dari gambar motif ‘latohan’ sejenis tanaman laut dan dari segi Tionghoa dari warna merah ati ayam dan motif huruf Mandarin.
       Sejak itu maka masyarakat etnis Tionghoa dan Jawa di Lasem hidup rukun. Bahkan saat masa penjajahan Belanda dalam Perang Kuning keharmonisan sangatlah terlihat. Di Lasem muncul tiga pahlawan, yaitu Panji Margono dari golongan Jawa, serta Oei Ing Kiat dan Tan Kee Wie dari etnis Tionghoa. Mereka melawan keradikalan VOC dan berhasil dalam perlawanan di Rembang. Namun di tempat lainnya mereka berguguran dalam medan perlawanan.
       Bahkan saat kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa di Solo pada tahun 1980 dan 1998 serta di berbagai kota di Indonesia. Suasana harmonis di Lasem tetap terjaga tanpa gejolak. Hal ini juga merupakan hasil perjanjian damai antara golongan abangan (Jawa awam), santri, dan etnis Tionghoa. Sehingga kerusuhan pembantaian dan perusakan terhadap etnis Tionghoa terhindarkan. Hal ini membuat banyaknya bangunan asli khas arsitektur Tiongkok dengan dinding menjulang tinggi masih terjaga baik.
       Saat ini Lasem menjadi contoh pluralisme dan keharmonisan antar masyarakat. Dengan peninggalan bergaya Tiongkok yang sangat kental dan masih banyak, maka masyarakat memberi julukan sebagai Tiongkok Kecil atau Beijing Kecil. Meski ada pro kontra dengan julukan tersebut, tetapi masyarakat satu kesepakatan dengan julukan Lasem Kota Pusaka. Julukan tersebut merujuk dari sejarah panjangnya. Namun kita juga tidak bisa memungkiri bahwa Lasem telah menjadi Tiongkok Kecil Heritage atau Pusat Kebudayaan Tiongkok Versi Kecil.
       Sebenarnya akulturasi dua budaya yang berbeda itu bisa berjalan tanpa kekerasan. Dari sejarah akulturasi di Lasem saja kita bisa melihat betapa baiknya akulturasi budaya tersebut. Dengan tanpa ada paksaan akulturasi bisa membentuk gabungan dari dua kebudayaan yang berbeda menjadi kebudayaan baru yang unik dan mempunyai kekhasan tersendiri. Ciri khas yang menjadi pembeda dari daerah lain membuat Lasem menjadi salah satu kota budaya yang diperhitungkan. Bahkan hasil akulturasi budaya berupa Batik Lasem sudah menjadi salah satu unggulan produk batik di Indonesia.
       Dari segi sosial kemasyarakatannya akulturasi tersebut membuat kehidupan di Lasem menjadi beriringan dan harmonis. Keharmonisan tersebutpun menjadikan hasil yang saling menguntungkan di setiap golongan. Dimana dari etnis Tionghoa mereka bisa memperoleh tempat di masyarakat Lasem tanpa ada pengusiran dan kerusuhan. Dari sisi masyarakat Jawa yang notabene merupakan penduduk asli Lasem, mereka mendapatkan keuntungan berupa seni membatik yang bisa dijadikan ciri khas Lasem berupa batik motif pesisiran. Selain menjadi ciri khas hasil budaya membatik bisa juga dijadikan sebagai mata pencaharian penduduk setempat.
       Maka dari itu kita tidak harus antipati dengan budaya baru. Namun penyelekasian tetap perlu dilakukan dalam memilih budaya yang tepat dengan kepribadian bangsa ini. Dengan demikian akulturasi dapat terbentuk dengan beragam manfaatnya, dimana bisa menimbulkan sebuah simbiosis mutualisme, sehingga tak ada yang dirugikan. Dengan adanya akulturasi yang menguntungkan kedua belah pihak, maka bisa menjadikan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.

0 komentar

Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun