Type something and hit enter

author photo
Oleh On
Sikap Menjaga Perdamaian dengan Prinsip Islam dan Sosial
di Lingkungan Pesantren
 Oleh: Khaolil Mudlaafar

Perdamaian perdamaian, perdamaian perdamaian [2x]
Banyak yang cinta damai tapi perang makin ramai [2x]
...
       Melihat kondisi dunia saat ini yang sangat miris, mungkin lirik lagu yang dipopulerkan oleh Nasida Ria tersebut sangat tepat. Kerusuhan, penindasan, kekerasan, dan penyiksaan terjadi di mana-mana. Sebut saja konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel yang tak kunjung usai, seakan tidak akan ada akhirnya. Pembantaian umat Islam Rohingya di Myanmar, yang seakan pemerintah sah sudah menutup mata terhadap peristiwa itu. Kemudian pemboman gereja di Samarinda, Kalimantan Timur, yang mengatasnakaman jihad membela agama, padahal tindakan tersebut terjadi karena pengetahuan keagamaanannya yang sangat dangkal. Lebih jauh lagi di negeri ini pernah ada kerusuhan Ambon, Poso, dan Sampit yang sangat mengenaskan – dengan alasan perbedaan – padahal perbedaan adalah bentuk rahmat-Nya kepada manusia.
       Terjadinya peristiwa-peristiwa di atas menandakan bahwa rasa cinta damai, saling mengasihi dan menyayangi, kemanusiaan, serta persatuan seakan tidak ada artinya. Perdamaian yang menjadi cita-cita seluruh bangsa di dunia terlihat hanya “bagaikan pungguk merindukan rembulan”. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang dibentuk setelah meletusnya Perang Dunia II, dengan misi perdamaian yang dibawa juga tampak gagal dalam perwujudannya. Mestinya semua orang di dunia perlu berbenah, melihat kaca benggala bahwa perdamaian sudah hilang dan perlu diwujudkan.
       Sejatinya perdamaian sangat mudah terwujud dengan benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dunia perlu belajar dari agama Islam. Agama yang sering dianggap sebagai teroris oleh Islamophobia. Padahal dalam Islam sama sekali tidak diajarkan permusuhan dan kebencian, apalagi yang bersifat merusak dan merugikan orang lain.
       Sejarah sudah menjadi bukti nyata bahwa Islam adalah agama damai yang membawa kedamaian. Kita bisa menengok proses masuknya agama Islam di Indonesia. Kedatangan Islam dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India dan Timur Tengah dengan damai. Sehingga tidak menimbulkan peperangan dengan penduduk pribumi. Padahal mayoritas masyarakat Indonesia saat itu notabene beragama Hindu, Budha, serta penganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
       Penduduk pribumi masuk agama Islam juga tanpa paksaan. Para pedagang memanfaatkan angin untuk berlayar dalam perdagangannya, sehingga waktu mereka ditentukan oleh keberadaan angin Barat dan angin Timur. Dalam masa menunggu pergantian angin tersebut, para pedagang menjalankan kewajibannya sebagai pemeluk Islam, dengan beribadah yang rajin dan teratur. Penduduk setempat yang melihat betapa indahnya ajaran Islam yang sangat tertib dan menentramkan hati, kemudian membuat mereka tertarik untuk belajar tentang Islam. Mereka kemudian masuk Islam dengan suka cita, tanpa paksaan atau peperangan. Islam kemudian berkembang pesat dan menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia, karena ajaran-ajarannya dengan prinsip kemanusiaan dan tanpa membedakan.
       Salah satu jalur masuknya Islam di Indonesia selain melalui perdagangan adalah melalui pendidikan. Pendidikan disini lebih tepatnya melalui pondok pesantren. Pesantren yang merupakan tempat dalam belajar dan mendalami Islam, tidak melulu mengajarkan tata cara beribadah menyembah Allah Swt. Namun juga mengajarkan hubungan secara horizontal dengan sosial masyarakat, mengajarkan akhlak, kepribadian, serta persaudaraan. Sehingga dengan ajaran-ajaran tersebut, maka murid pesantren yang disebut “santri” juga diajarkan prinsip-prinsip Islam sebagai agama yang damai.
       Prinsip Islam menjadi tradisi yang tertanam kuat, hingga sudah mendarah daging di lingkungan pesantren. Tradisi tersebut diajarkan oleh Kiai – sebagai sang guru – kepada santrinya, baik secara tersurat maupun tersirat. Ajaran secara tersurat melalui pendidikan keilmuan dengan al-Quran, kitab-kitab kuning, dan nasihat/ceramah. Sedangkan ajaran tersirat melalui tindakan yang dilakukan Kiai sebagai panutan, perintah Kiai terhadap santrinya, pergaulan sosial keseharian santri, serta peraturan yang harus dipatuhi oleh santri. Berikut akan dijabarkan oleh penulis sebagian kecil potret tradisi Islam di kalangan santri, yang merupakan bentuk ajaran dan pengamalan perdamaian.
       PEMBAHASAN
       Keadilan Tanpa Diskriminasi di Pesantren
       ...      
       Anak pejabat,
       Anake wong mlarat,
       Sik padha santrine, aja dha sekarat
       Penggalan dari lagu dengan judul “Anak Pondok”, yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Pound Trend – salah satu group band santri di daerah Kajen, Margoyoso, Pati – menggambarkan persamaan di pesantren. Bahwa santri memiliki hak dan kewajiban yang sama. Meskipun mereka dari keturunan pejabat tinggi maupun dari keturunan masyarakat biasa. Santri diajarkan untuk saling menghargai. Bukan karena jabatan orang tua yang “mentereng”, mereka bisa berbuat “aneh-aneh” sak kepenak udele dhewe[1].
       Pemberian hak dan kewajiban yang adil dicontohkan oleh Kiai kepada santrinya. Adil tentunya bukan sama rata sama rasa, namun sesuai dengan tempatnya. Kiai memberikan perintah/tugas kepada santrinya sesuai dengan pandangan bahwa santri dianggap mampu, bukan karena seberapa dekat Sang Kiai dengan orang tua dari santri tersebut. Bahkan kerabat dari Kiai yang juga mondhok[2] di pesantren yang diasuhnya, juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan santri lainnya. Tidak lantas diistimewakan sebagai santri emas karena hal kekerabatan.
       Ajaran tersebut merupakan bentuk dari pengamalan al-Quran surat an-Nahl ayat 90, yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Kiai melatih santrinya untuk berbuat adil. Keadilan menjadi sarana agar prasangka buruk dan saling iri hati bisa dihindarkan. Karena santri bisa mengetahui bagaimana kemampuannya serta tugas yang tepat sesuai kemampuan. Sehingga perselisihan yang menjadikan permusuhan antarsantri bisa dihindarkan. Mereka akan saling melindungi sesama santri sebagai sahabat maupun saudara seperjuangan.

       Budaya Musyawarah dan Diskusi
       “.... sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka...”
        Penggalan dari QS. Asy-Syuura ayat 38 tersebut menjelaskan pentingnya musyawarah dalam menyelesaikan masalah. Memang sudah menjadi sebuah kewajaran bahwa manusia sebagai makhluk sosial tentu tak mulus begitu saja. Dalam kehidupan gesekan-gesekan masalah antarsesama manusia sekecil apapun pasti ada. Namun apabila semua masalah dibalas serupa begitu saja, maka tidak akan pernah ada ketenangan hidup. Penyelesaian dengan kepala dingin dan lapang dada menjadi sangat krusial dalam hal ini. Musyawarah menjadi jalan terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah. Karena dengan musyawarah tersebut akan tercapai mufakat, yang sangat bermanfaat bagi semua, bukan malah memberi keuntungan satu pihak namun merugikan pihak lainnya. Masalah akan mendapatkan solusi terbaik dengan kepala dingin.
       Praktik musyawarah sudah menjadi kebiasaan di lingkungan pesantren. Ajaran hidup bersosial yang satu ini menjadi ciri khas tersendiri dalam sistem pendidikannya. Salah satu bentuk realisasinya yaitu pada saat pemilihan “Lurah Pondok”[3]. Semua santri berkumpul dalam majelis, dengan diawali pujian kepada Sang Pencipta Allah Swt. salawat salam kepada Baginda Muhammad Saw; pembacaan ayat suci al-Quran; serta pembacaan maulidur rasul. Dilanjutkan membahas berjalannya kegiatan di pesantren kemarin sampai hari ini, masukkan-masukkan dari para santri, dan akhirnya berunding untuk menentukan mufakat pengangkatan Lurah Pondok yang baru. Penentuan Lurah Pondok dilakukan  karena Islam juga mengajarkan untuk memilih seorang pemimpin, dimana pemimpin tersebut mumpuni untuk dijadikan sebagai panutan dan pengayom yang adil.
       Bentuk musyawarah yang lainnya terdapat dalam penentuan takziran[4]. Dalam memberikan takziran biasanya pengurus akan bermusyawarah, sehingga menghasilkan keputusan yang tepat. Takziran akan memberikan beban tanggung jawab bagi santri yang melanggar. Mengajarkan bahwa kesalahan yang dilakukannya bisa saja mengganggu hak orang lain. Sehingga ketenangan orang lain bisa terusik. Dengan Takziran santri tersebut bisa memahami kesalahannya, sehingga tidak akan mengulangi kembali. Hal itu menjadikan kedamaian orang lain bisa terjamin dan tidak terusik.
       Membicarakan musyawarah tentu tidak bisa terlepas dari yang namanya diskusi. Dalam lingkungan pesantren, diskusi menjadi salah satu metode yang sangat baik untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkannya. Diskusi ini membahas problematika umat yang akan dipecahkan dengan menilik hukum al-Quran, sunnah, dan kitab-kitab karangan para ulama. Berdasarkan pedoman sumber tersebut, para santri akan menyampaikan argumentasinya. Argumen-argumen pemikiran kritis melatih santri agar bisa memahami kehidupan di masyarakat, memberikan solusi yang tepat untuk memecahkan problematika yang ada. Diskusi pemecahan masalah tersebut dikenal dengan bahtsul masail.
       Disini sangat tampak bahwa santri dilatih tidak untuk kepentingan diri sendiri dan akhirat, namun juga bisa bermanfaat saat terjun di masyarakat nanti. Lingkungan pesantren mengajarkan agar santri memiliki jiwa kepemimpinan yang bijak, tidak sembrono. Menjadi rujukan dalam penyelesaian suatu masalah dengan pertimbangan yang tepat. Sehingga saat memimpin masyarakat permasalahan-permasalahan yang ada bisa diminimalisasi.
       Sorogan Perwujudan Rasa Saling Mengasihi
       Dalam menguji keilmuan seorang santri, biasanya secara berkala satu minggu sekali dilakukan sorogan[5] kitab. Seorang santri akan melakukan sorogan kepada santri senior, sebelum menyetorkannya kepada ustadz. Dimana santri senior akan menularkan ilmu yang telah dipahaminya kepada santri junior, dengan cara menyimak bacaan dan pemahaman santri tersebut terhadap bacaan kitabnya. Apabila terdapat kesalahan maka akan dalam membaca maka akan dibenarkan, bila kesalahan terhadap pemaknaan akan diluruskan.
       Meskipun begitu tidak ada unsur senioritas yang semena-mena, yang bisa menjadikan jurang pemisah antara santri junior dengan santri senior. Karena dalam sorogan tersebut santri senior tidak akan “pelit ilmu” kepada santri juniornya. Sorogan menjadi perwujudan mengasihi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Hal itu terwujud dalam bentuk kesediaan santri senior menularkan ilmunya, sedangkan santri junior tetap menghormati karena telah mengajarkannya.
       Keakraban dalam Makan Bersama dan Gotong Royong
       Makan menjadi hal umum yang mungkin sangat sepele. Namun dengan hal yang sepele itu bisa menjadi “alat” untuk menciptakan persatuan. Di pesantren santri terbiasa makan bersama-sama dengan nampan sebagai wadahnya, serta langsung muluk[6] tanpa menggunakan sendok. Mereka bersama mengelilingi nampan saling berbagi menghindarkan keegoisan. Dimana tidak ada yang mendapatkan jatah lebih banyak ataupun paling sedikit.
       Makan bersama melatih santri untuk tidak merasa jijik terhadap orang lain. Mereka tetap akan makan dalam satu wadah yang sama dan bersama pula. Santri juga dilatih menghindarkan perasaan menganggap rendah orang lain, karena sejatinya semua orang memiliki derajat yang sama di hadapan Allah Swt.; yang membedakan hanyalah ketakwaan kepada-Nya.
       Disamping itu untuk melatih kepekaan sosial dalam diri santri, biasanya diadakan kerja bakti secara gotong royong. Setiap hari libur dari kegiatan – biasanya pada Hari Jumat – maka dilakukan kegiatan bersih-bersih lingkungan pondok. Semua santri bercengkrama saling membantu, tanpa ada senioritas, mendapatkan tugas masing-masing yang dibagi perbagian. Di saat gotong royong tersebut candaan antarsantri untuk menyegarkan suasana pun terbentuk, sehingga nampak sekali keakraban yang menghilangkan rasa saling benci.
       KONKLUSI
       Pondok pesantren sebagai basis pendidikan agama Islam, tidak mendidik para santri dalam urusan ukhrawi saja, namun urusan duniawi juga diterapkan dalam pelaksanannya. Urusan duniawi yang dimaksud adalah kehidupan bersosial, karena hal itu sesuai dengan prinsip bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dalam bersosial tentu diperlukan sikap yang baik antarsesama, sehingga hubungan menjadi selaras dengan rasa tentram. Santri dilatih menerapkan ajaran Islam yang cinta damai, Islam rahmatan lil alamin.
       Banyak sekali metode pendidikan sosial yang diajarkan di lingkungan pesantren. seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu pesantren melatih adil dalam persamaan hak dan kewajiban; menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah, sehingga mencapai mufakat; menerapkan keilmuan yang telah diperoleh untuk melihat permasalahan yang ada di masyarakat, sehingga solusi bisa ditemukan dengan cara berdiskusi; melalui sorogan sebagai simbol hormat dan mengasihi; hingga hal sepele berupa makan dan gotong royong yang bisa menjaga kekaraban. Melalui semua tindakan itu, perdamaian di lingkungan pesantren bisa terrealisasikan. Santri akan tetap melaksanakan tradisi perdamaian yang telah didapatkannya, baik saat masih menjadi santri maupun ketika sudah terjun di masyarakat. Dengan begitu pesantren bisa menjadi contoh bagi dunia bahwa perdamaian bisa terwujud dengan baik melalui ajaran Islam. Sehingga kehidupan selaras antarmanusia dengan penuh perdamaian dan saling mengasihi bisa terwujud, tanpa harus terjadi peperangan yang menelan banyak korban.


[1] Sebuah ungkapan yang biasa digunakan orang Jawa, termasuk kalangan santri pondok pesantren di Jawa. Dimana ungkapan tersebut digunakan untuk menyatakan suatu tindakan yang dilakukan dengan keegoisan. Seseorang melakukan suatu tindakan tanpa memperhatikan akibat yang akan ditimbulkan karena perbuatannya. Mereka bersikap acuh tak acuh terhadap orang lain, yang biasanya tindakan tersebut juga bisa dipastikan membuat orang lain tidak suka, karena bersifat merusak atau merugikan.
[2] Istilah yang biasa digunakan bagi orang yang belajar di pesantren. Istilah ini lebih umum digunakan bagi kalangan pesantren di Jawa, daripada istilah nyantri.
[3] Sebutan bagi ketua para santri di pondok pesantren. Biasanya seorang Lurah Pondok dipilih dari santri yang sudah senior serta dengan keilmuan yang mumpuni. Karena posisinya sebagai pemimpin yang harus lebih bisa menjadi tauladan bagi santri lainnya.
[4] Sanksi atau hukuman yang diberikan kepada santri yang melakukan kesalahan/melanggar tata tertib peraturan pondok.
[5] Bentuk setoran berupa membaca kitab – yang sudah diajarkan sebelumnya – kepada ustadz atau santri senior yang telah ditunjuk. Ustadz atau santri senior kemudian akan menyimak bacaan santri yang melakukan sorogan.
[6] Istilah dalam Bahasa Jawa dimana seseorang makan langsung dengan tangan, tanpa menggunakan alat bantu seperti sendok, sumpit, dan lainnya, dengan sudah mencuci tangan sebelumnya. Muluk menjadi salah satu sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.; dimana Rasul makan langsung menggunakan tangan kanan.

0 komentar

Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun