Type something and hit enter

author photo
Oleh On
Juara 3 Penulisan Toponimi, Lomba Menulis Cagar Budaya, Hari Purbakala ke-105

Toponimi Desa Tuyuhan: Tinjauan Folklor dalam Kajian Arkeologi Sejarah (Historical-Archaeology)

Bangunan Kompleks Makam Mbah Djumali Tuyuhan
Bangunan Kompleks Makam Mbah Djumali Tuyuhan
Folklor Desa Tuyuhan
Folklor menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Danandjaja (1997) menjelaskan definisi Folklor secara keseluruhan adalah kebudayaan suatu kolektif yang diwariskan secara turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisonal dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk tulisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu ingat. Folklor dapat digolongkan kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan. Adapun folklor lisan terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah cerita prosa rakyat yang terdiri dari mite, legenda dan dongeng.

Salah satu wilayah yang memiliki folklor lisan kuat adalah Desa Tuyuhan yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat setempat percaya bahwa berdirinya desa itu karena jasa seorang tokoh besar yang disegani, yaitu Mbah Djumali. Berdasarkan manuskrip Silsilah Mbah Djumali dan hasil wawancara dengan Mohammad Yafi'uddin dan Ahmad Wahyudi, Pimpinan Pondok Pesantren Al Hassan yang juga keturunan dari Mbah Djumali, apabila ditarik garis keturunannya maka silsilah Mbah Djumali akan sampai kepada Mbah Sambu Lasem serta Jaka Tingkir.
Gapura Masuk Desa Tuyuhan
Gapura Masuk Desa Tuyuhan
Pada tahun 1734 Masehi, ada seorang lelaki dari Lasem yang pergi menuju hutan arah selatan yang dikenal angker untuk membuka pemukiman baru, orang itu dikenal sebagai Mbah Djumali. Pembukaan hutan untuk pemukiman baru merupakan perwujudan syiar agama Islam. Masyarakat di sekitar tempat pada saat itu masih memiliki rasa takut dengan hal-hal mistis. Oleh karena itu, Mbah Djumali mendirikan sebuah gubug di sekitar sungai sebagai perjuangan awalnya. Akhirnya dengan kemampuan ilmu agama dan kemampuan sosial dalam mengajak orang lain, pemukiman baru terwujud. Orang-orang semakin banyak yang tinggal di tempat baru tersebut, akhirnya didirikanlah sebuah padepokan sebagai tempat pengajaran Islam oleh Mbah Djumali.

Meskipun sudah banyak masyarakat yang tinggal di sana, akan tetapi keyakinan dan rasa takut terhadap hal mistis masih belum sirna sepenuhnya. Terutama dengan keberadaan batu besar di sungai wilayah itu, masyarakat menganggap bahwa batu tersebut angker karena merupakan kerajaan jin yang perlu dihindari. Syiar Islam yang dilakuakan Mbah Djumali menjadi cara untuk menegakkan syariat serta memperbaiki mental masyarakat yang seperti itu, masih percaya dengan benda mati yang memiliki penunggu. Kenyataan itu membuat Mbah Djumali memiliki cara unik untuk melakukan syiar Islam, yaitu dengan cara “uyuh” (istilah untuk buang hajat dalam Bahasa Jawa Kuno) di atas batu besar yang dianggap angker. Kegiatan itu dilakukan secara terus-menerus setiap hari oleh Mbah Djumali. Melihat tindakan yang dilakukan Mbah Djumalli tersebut, akhirnya masyarakat setempat semakin terbuka pemikirannya bahwa batu besar itu tidaklah angker. Melalui cara itu Mbah Djumali juga mengajarkan bahwa yang berhak untuk ditakuti adalah Allah Swt.
Batu Keramat di Sungai Desa Tuyuhan (Foto Tampak dari Seberang Sungai)
Batu Keramat di Sungai Desa Tuyuhan (Foto Tampak dari Seberang Sungai)
Keilmuan dan kealiman Mbah Djumali membuat masyarakat semakin menghormatinya. Seiring perkembangan waktu pemukiman yang didirikan Mbah Djumali berkembang menjadi perkampungan yang besar, sampai saat ini masyarakat mengenalnya sebagai “Desa Tuyuhan”. Nama itu diambil dari kalimat “watu panggon uyuhan” yang dalam Bahasa Indonesia berarti “batu tempat buang hajat”. Sejalan dengan perkembangan pemukiman itu, padepokan tempat Mbah Djumali mengajarkan syariat Islam juga berkembang pesat. Padepokan itu sampai sekarang dikenal sebagai Pondok Pesantren Al Hassan.

Perkembangan Pondok Pesantren Al Hassan sendiri sebagai bentuk syiar Islam Mbah Djumali masih bertahan sampai sekarang. Saat ini Pondok Pesantren Al Hassan dipimpin oleh keturunan ketujuh dari Mbah Djumali yaitu Kiai Mohammad Yafi'uddin dan Kiai Ahmad Wahyudi. Saat ini tidak hanya melalui pondok pesantren, akan tetapi keturunan Mbah Djumali meneruskan perjuangannya dengan mendirikan sekolah-sekolah umum berbasis agama di Desa Tuyuhan.
Kiai M. Yakifudin dan Kiai Wahyudi Pimpinan Pondok Pesantren Al Hassan (Keturunan Mbah Djumali Tuyuhan)
Kiai M. Yafi'uddin dan Kiai A. Wahyudi Pimpinan Pondok Pesantren Al Hassan (Keturunan Mbah Djumali Tuyuhan)
Aspek Arkeologi Sejarah (Historical Archaeology) Desa Tuyuhan
Beberapa nama tempat apabila dikaji secara lebih mendalam mengandung sisi yang bersifat arkais. Munandar (2016) dalam tulisannya yang berjudul “Toponimi dalam Kajian Arkeologi”, menyebutkan bahwa sejumlah nama tempat mencirikan nama-nama kuno yang bersifat arkais dengan ciri: (1) Nama itu dapat dilacak berasal dari bahasa kuno, seperti Jawa Kuno, Sunda Kuno, atau Sansekerta, namun telah mengalami perubahan pengucapan; (2) Di kawasan tempat itu mempunyai situs atau monumen kuno yang masih berdiri hingga sekarang, dapat ditafsirkan bahwa di tempat itu pernah terjadi aktivitas masyarakat masa silam. Selain itu, Munandar juga menjelaskan bahwa nama tempat yang bersifat arkais bisa digunakan sebagai pijakan awal untuk menunjang historiografi atau sejarah lokal serta mengetahui latar belakang masyarakat setempat pada masanya.
Dalem Peninggalan Mbah Djumali
Dalem Peninggalan Mbah Djumali
Melalui penjelasan itu maka kita bisa mengetahui bahwa toponimi (pemberian nama tempat) Desa Tuyuhan termasuk dalam kategori arkais. Berdasarkan kamus Bahasa Jawa Kuno http://sealang.net/ojed/, “uyuh” termasuk kata dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti “buang hajat/kencing”. Akan tetapi kata “uyuh” telah mengalami perubahan menjadi “tuyuhan” dikarenakan kondisi masyarakat setemmpat yang terus mengalami perkembangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Rendra Agusta seorang pegiat sastra terutama Jawa Kuno, perubahan kata yang terjadi seperti kasus toponimi Desa Tuyuhan disebut sebagai semiotika.

Meskipun kata “tuyuhan” pada toponimi Desa Tuyuhan bisa menyatakan tempat karena mendapatkan akhiran “-an”, yang lazimnya menerangkan keepemilikan, tempat, jabatan dan lainnya. Akan tetapi Rendra mengatakan bahwa dalam kasus tersebut kata “tuyuhan” lebih merujuk pada tafsir kata “tayuh” atau “tuyuh” dalam Bahasa Jawa Bali, yang merupakan varian Jawa Kuno. Kata “tayuh” atau “tuyuh” memiliki arti rajin. Sifat rajin merujuk pada cara-cara syiar Islam yang diakukan oleh Mbah Djumali terhadap masyarakat sekitarnya. Sifat tersebut yang menjadikan Mbah Djumali sebagai sosok yang disegani oleh masyarakat/pengikutnya. Sehingga analisis yang kedua ini masih bisa memposisikan toponimi Desa Tuyuhan sebagai nama arkais.


Sisi arkais juga bisa dilihat dari adanya situs atau monumen kuno yang bisa ditemukan sampai sekarang di Desa Tuyuhan. Situs/monumen itu berupa batu besar di sekitar sungai di Desa Tuyuhan. Batu yang awalnya dianggap angker akhirnya menjadi tempat “uyuh” oleh Mbah Djumali sebagai cara syiar Islam untuk masyarakat sekitarnya.
Sumur Tua Peninggalan Mbah Djumali
Sumur Tua Peninggalan Mbah Djumali
Di sisi lain, toponimi Desa Tuyuhan didasarkan pada tahun 1734 Masehi, tahun pembukaan pemukiman baru oleh Mbah Djumali bisa ditelusuri sejarahnya. Apabila dibandingkan dengan tahun wafat Mbah Sambu Lasem pada tahun 1671, maka manuskrip silsilah Mbah Djumali merupakan hal logis. Mbah Djumali merupakan cucu Mbah Sambu dari putranya yang bernama Mbah Abdul Alim. Dalam manuskrip silsilah juga disebutkan secara garis keturunan Mbah Djumali merupakan keturunan dari Jaka Tingkir, Raja Pajang yang pertama yang lahir ada tahun 1549 dan meninggal pada tahun 1582. Maka silsilah tersebut juga memenuhi persyaratan sejarah terkait waktu yang bersifat kronologis. Apabila didasarkan pada kondisi masyarakat sekitar yang belum mengamalkan syariat Islam, kedatangan Mbah Djumali sebagai “pendakwah” merupakan fakta sejarah. Pada tahun-tahun dakwah Mbah Djumali masih menjadi awal syiar Islam di daerah Jawa, sehingga masyarakatnya masih terpengaruh dengan ajaran sebelumnya terutama mengenai hal mistik.
Foto Silsilah Mbah Djumali yang Merupakan Keturunan dari Mbah Sambu Lasem dan Jaka Tingkir
Foto Silsilah Mbah Djumali yang Merupakan Keturunan dari Mbah Sambu Lasem dan Jaka Tingkir
***
Sesuai penjelasan tersebut maka bisa kita simpulkan bahwa toponimi Desa Tuyuhan bersifat arkais. Hal pertama didasarkan bahwa kata “tuyuhan” merupakan semiotika dari kata dalam Bahasa Jawa Kuno atau dalam versi kedua dari Bahasa Jawa Bali. Kedua dengan adanya situs/monumen berupa batu besar yang diyakini sebagai salah satu cara Mbah Djumali dalam syiar Islam. Adanya batu besar yang menjadi mitos dan awal legenda Desa Tuyuhan menjadi aspek arkais yang sangat mendukung. Sifat arkais pada toponimi Desa Tuyuhan diperkuat dari tinjauan sejarah berdasarkan Silsilah Mbah Djumali.

Referensi
A. Pustaka:
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

https://sealang.net/ojed

Kusaeri. 2009. "Asal Mula Desa Tuyuhan". Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang Jilid I. Rembang: CV. Duta Mulia.

Munandar, Agus Aris. 2016. "Toponimi dalam Kajian Arkeologi". Prosiding Seminar Nasional Toponimi: Toponimi dalam Perspektif Ilmu Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya,Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Manuskrip Silsilah Mbah Djumali Tuyuhan.

B. Wawancara:
1. Nama: Mohammad Yafi'uddin
Usia: 34 tahun
Pekerjaan: Pimpinan Pondok Pesantren Al Hassan, Tuyuhan
2. Nama: Rendra Agusta, M. Litt.
Usia: 28 tahun
Pekerjaan: Ketua Komunitas Sraddha, Surakarta
3. Nama: Ahmad Wahyudi
Usia: 40 tahun
Pekerjaan: Pimpinan Pondok Pesantren Al Hassan, Tuyuhan

Antologi Pemenang Lomba Penulisan Cagar Budaya Hari Purbakala 105
Antologi Pemenang Lomba Penulisan Cagar Budaya Hari Purbakala 105
Tulisan ini telah dipublikasikan dalam Seminar Nasional dalam rangka Gebyar 105 Tahun Purbakala "Merawat Kebinekaan Merawat Identitas", Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman bekerjasama dengan Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Sabtu, 20 Oktober 2018, Grha Utama - Gedung A, Lantai 3, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Juara 3 Lomba Penulisan Toponimi Hari Purbakala 105
Juara 3 Lomba Penulisan Toponimi Hari Purbakala 105

0 komentar

Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun