Type something and hit enter

author photo
Oleh On
Tentang Diam
Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok - Kholil Media
Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok - Kholil Media
Pernah mendengar pepatah tentang “diam”? “Diam adalah emas”, misalnya? Bahkan saya berani menjamin bahwa tidak hanya pernah, namun seringkali mendengarnya, saking seringnya mungkin sampai bosan. Pepatah itu memang sepertinya sederhana dan remeh untuk mendapatkan perhatian. Akan tetapi, ternyata tidak sesederhana itu karena bisa membawa dampak yang sangat besar. Bahkan dalam agama pun diam menjadi sesuatu yang sangat penting. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَــقُلْ خَــــيْرًا أَوْ لِيَـصـــمُــتْ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” [HR Bukhari]

Mengenai diam, ada buku yang menurut saya sangat relevan untuk dibaca. Buku itu adalah karya Sang Kepala Suku Mojok – Mas Puthut EA – berjudul “Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok”. Buku setebal 244++ terbitan Shira Media itu merupakan antologi 57 esai yang diambil dari salah satu esai berjudul sama dengannya. Membahas topik-topik yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang disampaikan dengan bahasa renyah nan menyentil, ciri khas dari Mas Puthut EA. Topik berat mengenai politik dan pemilihan presiden beserta pendukung fanatiknya, hingga hal kecil seperti kehidupan para fans sepakbola dan perdebatan golongan pro maupun kontra dengan rokok dibahasnya.

Memang dalam buku itu tidak disajikan secara eksplisit mengenai pentingnya diam, namun secara isinya menyiratkan hal demikian. Adapun poin-poin pentingnya diam yang bisa diambil hikmahnya dari buku itu adalah sebagai berikut

1.    Jangan banyak bicara apalagi sampai dengan mengunggulkan diri sendiri. Sejatinya orang yang banyak bicara, tidak lain karena berusaha menutupi kekurangan dalam dirinya. Bahaya dari banyak bicara berpotensi menyakiti hari orang lain, bahkan bisa jadi membuka aibnya sendiri.

Perihal ini menjadi catatan bahwa mayoritas orang zaman sekarang banyak yang bersikap ngintelektual. Seperti dalam salah satu esai yang berjudul “Berhati-hati dengan Sikap Fasistik Ngintelektual Zaman Now,” saat Mojok melakukan kesalahan dan akhirnya membuat permintamaafan. Rekasi yang muncul beragam, namun ada satu golongan yang dengan sok pintar menggunakan segala argumen dan analisis (ngawur)-nya mengatakan permintaamaafan Mojok saja tidak cukup, jalan satu-satunya adalah Mojok harus bubar. Padahal sikap seperti itu sejatinya merupakan sebuah kebobrokkan pikir, sebab tidak suka pada suatu hal segala apapun dibencinya, meskipun sebenarnya benar. Sebuah sikap bodoh sebab sifat angkuhnya.

Hal serupa juga disampaikan melalui esai yang berjudul “Para Pencuri yang Merusak Nama Baik Profesi Bloger” dan “Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok”. Esai pertama menyinggung perilaku para pencuri konten (karya) penulis blog lain yang tanpa izin mengambilnya. Normal saja apabila mengetahui kesalahannya meminta maaf dan sadar, namun sangat aneh jika dia menganggap tindakan itu wajar dan halal dilakukan, malahan dengan bangganya mengumbar di media maya. Bisa diibaratkan perilaku itu seperti para koruptor yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan tanpa merasa bersalah senyum bangga saat tersorot media.

Esai kedua membahas kebodohan netizen, ketika ada pihak yang bermasalah mengenai hak cipta dengan Mojok. Pihak yang bermasalah itu sudah mengakui dan meminta maaf, namun ada saja orang yang mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakan salah tersebut. Argumen dikeluarkan tanpa dasar, berdebat dengan pemikirannya yang pada akhirnya membuktikan kebodohannya sendiri. Akibat tindakan itu membuatnya pantas untuk dijadikan bahan guyonan.

2.    Jika mendapatkan informasi tentang suatu hal yang kita tidak memiliki kompetensi tentangnya, sebaiknya disimpan sendiri. Sebab dikhawatirkan informasi itu akan menyesatkan orang lain.

Pada poin ini pembahasan yang menarik adalah tentang sikap golongan anti rokok terhadap para perokok. Ada banyak esai tentang rokok di buku ini, namun kiranya yang paling utama ada tiga, yaitu pertama berjudul “Benarkah Berhenti Merokok Bisa Membuat Kita Kaya?”, kedua “Konsiparsi Yahudi Dibalik Harga Rokok 50.000 Perbungkus”, dan ketiga “Rezim Anti-antian yang Menganggu Kewarasan Nalar Kita”. Seorang pendebat rokok dengan simplifikasi argumennya mengatakan bahwa wajar saja jika para perokok hidupnya miskin, sebab uang yang seharusnya digunakan untuk menafkahi keluarga dan memperbaiki hidupnya habis hanya untuk rokok. Argumen itu didukung dengan hitung-hitungan rupiah yang sangat rinci.

Namun saat dibalas dengan argumen mengenai sisi lain para penulis, pelukis, esais, seniman dan sebagainya yang juga merupakan perokok, bisa berpikir dan menghasilkan karya dengan merokok (beberapa batang atau bungkus), pada akhirnya bisa melipatgandakan uang yang mereka habiskan untuk membeli rokok dengan penjualan karya; para pendebat itu akhirnya terdiam dan mengalihkan isu lainnya ke masalah kesehatan. Tujuan awalnya memberikan informasi dampak ekonomi dari berhenti merokok, eh karena kesalahannya dengan tidak memberikan informasi berdasarkan sisi lain akhirnya dialihkan ke topik yang melenceng dari pembahasan awal.

Esai kedua tentang isu-isu yang tidak diketahui kebenarannya, lalu para kaum anti rokok merasa menang degngan itu Tentang isu rencana kenaikan rokok dengan harga fantastis yang berawal dari pernayataan seseorang, tanpa ditelusuri kebenarannya akhirnya disebarkan dengan sangat masif dan menjadi isu ramai di kancah nasional. Pada kelanjutannya isu itu merupakan kabar bohong (hoax) yang akhirnya membuat para perokok semakin banyak membeli berbungkus-bungkus rokok, tentunya menjadikan para penjual rokok senang yang sebenarnya ditanggapi santai oleh pemilik pabrik rokok. Akhirnya karena isu tersebut harus diakui membuat para perokok bukannya berhenti, malahan menjadi semakinbanyak membeli rokok.

Esai ketiga menceritakan orang-orang sok tahu yang sebenarnya bodoh. Mereka sangat keras dalam melarang sesuatu dengan alasan-alasan yang hanya kata ini, kata itu. Dia benar-benar tidak mengetahui detail permasalahannya. Dibahas dalam esai bahwa dulu pada masa kecil penulis mayoritas orang Indonesia menggunakan minyak kelapa (kopra) untuk memasak, lalu muncul minyak kopra tidak baik untuk kesehatan, akhirnya beralih ke minyak kelapa sawit yang dianggap lebih baik. Belakangan muncul berita tentang penelitian bahwa ternyata minyak kopra merupakan yang paling sehat, selain minyak zaitun. Ketidaktahuan dan sikap sok itu akhirnya menghancurkan komoditas kopra yang semestinya bisa berkembang besar dan membuat masyarakat makmur, sebab Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang serta tanaman kelapa yang dulu melimpah.


Kasus serupa terjadi pada pelarangan tembakau serta produk turunannya, rokok. Kaum “anti-antian” itu bersikeras melarang penggunakan rokok, padahal dibalik industri itu telah membuat jutaan orang mendapatkan lapangan pekerjaan. Belakangan ternyata muncul persaingan industri kesehatan yang merasa terganggu dengan keberadaan rokok, akan membuat produknya tidak laku. Juga dijelaskan dalam esai tersebut bahwa pernah seorang dokter merasa heran dengan masyarakat yang melarang garam, gula, beras dan lainnya. Pengetahuan dangkal mereka membuat orang lain menjadi ikut anti dengan beberapa komoditas itu, padahal sejatinya tubuh manusia tetap membutuhkannya, ada nutrisi penting yang bakal tidak terpenuhi apabila manusia meninggalkannya. Padahal sebenarnya dalam setiap hal itu ada ssesuatu perkara besar di belakangnya, misalnya persaingan kepentingan dan industri. Sungguh karena ketidaktahuannya membuat orang lain terjerumus dalam kesesatan informasi.

3.    Jika menyukai sesuatu, hendaknya menjadi penggemar yang unggul serta tidak perlu banyak mengomentari orang lain.

Ini terjadi ketika Mas Puthut yang merupaka penggemar Klub Sepak Bola AS Roma selama 16 tahun memutuskan untuk berhenti. Banyak komentar yang muncul, menganggapnya kurang istiqomah dan fanatik sdebagai seorang fans. Padahal ternyata orang-orang yang berkomentar demikian tergolong baru menjadi fans klub yang digemarinya. Alasan mereka menjadi fans pun karena klub itu sudah besar dan mentereng namanya, langganan juara, serta sudah maju menjadi klub unggulan. Sedangkan Mas Puthut merupakan fans sejati, sebab menjadi penggemar AS Roma tanpa embel-embel kebesaran nama klub itu dengan waktu yang sudah sejak lama. Terbukti bahwa kebanyakan orang yang berkomentar itu merupakan “anak kemarin sore” yang sudah sok tua mengarungi samudera kehidupan. Sejak memutuskan berhenti menjadi penggemar AS Roma, banyak tawaran muncul untuk bergabung dengan fans klub-klub lain, tentu dengan iming-iming yang bagus-bagus. Namun itu tidak membuat Mas Puthut tergugah, sebab dirinya mengetahui betul cara menjadi penggemar yang unggul, sampai-sampai diperebutkan oleh beberapa fans klub lainnya. Hahaha...

4.    Menyikapi suatu hal secara tepat, bukan menjadikan perkara kecil seolah merupakan perkara besar yang genting.

Poin ini bisa dilihat dalam esai-esai yang membahas tentang isu sensitif seputar agama dan isu panas seputar dunia perpolitikan. Bisa kita ambil contoh esai berjudul “Jahatkah Kaum Berjenggot, Bercelana Cingkrang, dan Berjidat Hitam?” dan “Pilpres 2019 dan Kondisi yang Dibikin Seolah-olah Negara Sedang Genting”. Kedua esai tersebut menjelaskan bahwa saat ini banyak orang yang gagap dengan hal kecil. Perbedaan yang semestinya menjadi indah sebagai pewarna kehidupan dan bukti adanya rahmat Tuhan, menjadi penghancur hubungan sosial. Semestinya perkara-perkara tersebut tidak perlu disikapi super reaktif. Semua hal yang berbeda dengan kita bukan berarti salah, begitupun dengan cara berpakaian yang menjadi hak setiap orang, tidak lantas kita langsung memberikan cap-cap negatif karena perbedaan itu.

Sedangkan dalam masalah Pilpres 2019 merupakan hal wajar apabila ada persaingan, sebab itu bukti dari keberadaan demokrasi. Namun bukan berarti persaingannya dilakukan secara serampangan yang akhrinya seolah-olah karena politik membuat kondisi Indonesia genting, panas dan harus disikapi dengan keras. Tindakan diam untuk memahami keadaan perlu dilakukan, bukan asal berbicara dan bergerak secara spontan. Padahal sejatinya kondisi Indonesia yang seolah-olah genting itu merupakan langkah dari pihak-pihak yang menginginkan “sesuatu” dari situasi seperti ini. Jadi, sebagai orang cerdas, alangkah baiknya kita menyikapinya dengan santai seperti di pantai, mengalir layaknya air.

***
Bisa dipahami bersama bahwa banyaknya pepatah tentang “diam” menandakan betapa pentingnya sikap itu. Bahkan sampai-sampai “diam” menjadi tanda beriman atau tidaknya seseorang. Bukan apa-apa, sebab bersikap “diam” bisa membuat seseorang lebih bijaksana dalam menghadapi kondisi dan situasi di sekitarnya. Orang yang banyak bicara resiko tergelincirnya lidah lebih besar, “Mulutmu, Harimaumu”. Bisa dihubungkan dengan konteks kekinian, orang yang tidak bisa menjaga jarinya untuk menulis/mengetik kata-kata menjadi rangkaian kalimat akan membawanya dalam jurang permasalahan, “Jarimu, Harimaumu”. Namun bukan berarti selamanya kita akan “diam” dalam menghadapi sesuatu, yang penting adalah bisa menempatkan sesuatu dengan porsinya.

0 komentar

Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun