Capunglah Penyatu Semua Kalangan
“Cup cubling, gurinem ana maling!”
Keheningan tercipta setelahnya, lalu tangan dan kaki maju dengan gerakan sehalus mungkin. Akan ada dua kemungkinan, capung terbang meninggalkan hati yang dongkol atau tertangkap menumbuhkan kebahagiaan tiada kira. Cara itu diterapkan jika menangkap capung menggunakan tangan kosong. Ada dua teknik yang biasa digunakan, satu lainnya menggunakan bakul plastik tipis – hasil pemberian nasi uduk khajatan tetangga – yang ditusuk dengan ranting kayu kecil.
Begitulah kiranya masa kecil anak-anak di desa saya. Setiap musim penghujan tiba di manapun tempatnya capung berterbangan menghiasi pemandangan sudah menjadi kelaziman. Kinjeng, begitu masyarakat di daerah saya menyebutnya.
Mulai dari kinjeng dom (capung jarum) yang berukuran paling kecil berwarna indah menawan, hingga kinjeng bung, capung paling besar yang biasanya berwarna hijau pudar dengan corak kehitaman. Ada juga yang menjadi primadona, kinjeng nganten yang berukuran sedang berwarna merah mencolok atau kuning terang.
Sepulang sekolah atau madrasah anak-anak beramai-ramai mencari capung hingga ke pematang sawah. Harapannya semakin banyak yang mencari, tentu akan semakin banyak yang didapat. Lalu setelah ditangkap bagaimana?
Capung itu bisa saja ditali bagian ekornya lalu diterbangkan layaknya layang-layang, bisa juga dilepaskan begitu saja. Kondisi kedua lebih sering terjadi, sebab yang penting sudah bisa menangkap saja akan menjadi kepuasan tersendiri. Kebahagiaan kolektif pun tercipta di kalangan anak-anak.
Rupanya capung tidak hanya bisa membawa rasa gembira bagi anak-anak. Orang tuanya pun turut kecipratan manfaat dari capung. Jika saat TK diajarkan lagu nama-nama jari oleh guru, tiba saat jari jempol biasanya kalimat yang digunakan adalah, “Anak TK nggak boleh ngompol”. Bisa dibilang capung lah yang mewujudkan isi dari lagu itu – meskipun sebenarnya banyak juga anak-anak SD yang masih mengompol.
Mitos yang berkembang di masyarakat sekitar saya, yaitu jika ada anak yang masih mengompol sebagai obat mujarabnya adalah capung. Bukan untuk dimakan, melainkan orang tua akan mencarikan capung untuk digigitkan ke pusar anaknya. Terkadang kalau capungnya tidak kunjung menggigit akan dilakukan berbagai cara supaya terjadilah gigitan itu. Teknik itu dirasa cukup efektif sebagai solusi bersama.
Orang tua mana yang tidak merasa senang kalau anaknya sudah tidak mengompol lagi? Tidak perlu mengeluarkan tenaga berlebih untuk membereskan dan menyucikan najis bekas ompol anaknya. Alhasil hati merasa tenang tanpa beban tambahan.
Tanaman padi memang tergolong cukup ribet dan membutuhkan perhatian khusus. Banyak penyakit dan hama yang menyerang pertumbuhannya, sampai-sampai bisa menyebabkan gagal panen. Artinya bisa saja petani mengalami kerugian, baik waktu, tenaga, maupun finansial.
Capung yang termasuk hewan predator bisa menjadi musuh alami bagi hama pengganggu tanaman. Larvanya yang hidup di air turut menjaga kelestarian akar dan bagian bawah batang padi yang terendam air dari penyakit tanaman. Begitu pula dengan versi dewasa yang bisa kita nikmati keindahannya. Capung menjadi pemangsa hama wereng yang dikenal ganas itu, berlaku juga untuk hama lainnya. Tentu ini akan meningkatkan kemungkinan keberhasilan dan kualitas panen padi.
Satu hal yang tidak pernah saya kira sebelumnya, dari beberapa referensi yang telah saya baca, ternyata capung cukup efektif untuk mengurangi populasi nyamuk. Sebab nyamuk memang salah satu makanannya. Berkurangnya popuasi nyamuk sebagai vektor dari berbagai penyakit berbahaya – seperti malaria, kaki gajah, dan DBD – akan sangat menguntungkan manusia. Terkait ini, bisa dibilang capung turut serta menjaga kesehatan manusia. Mengurangi jumlah yang sakit sekaligus memotong kemungkinan keluarnya biaya lebih untuk berobat.
Lain lagi kebermanfaatannya bagi akademisi dan peneliti. Banyaknya jenis capung di Indonesia, bisa menjadikan beragamnya penelitian tentang capung, mulai dari morfologinya yang tentu berbeda satu sama lain hingga lebih mendalam terkait fisiologi. Juga penelitian yang berhubungan dengan biodiversitas di lingkungan tertentu.
Ladang garapan tentang capung bisa memunculkan kolaborasi silang keilmuan antara fakultas kedokteran, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, fakultas pertanian, dan fakultas ilmu budaya. Di sini tidak perlu lagi “saingan” antara bidang saintek dengan soshum, karena memang sejatinya hampir semua hal bisa dikolaborasikan. Ranah ilmiah menjadi lebih hidup dan bermanfaat.
Capung juga bisa menjadi penolong mahasiswa. Oleh karena objek garapan yang masih luas tentang capung, tentunya masih banyak celah penelitian yang bisa dimanfaatkan. Garapan itu nantinya akan memunculkan karya ilmiah yang bisa digunakan untuk menulis paper, bahan konferensi, atau bahkan penyusunan skripsi, tesis, atau disertasi sebagai syarat kelulusannya.
Bagi seniman, sastrawan, dan budayawan; capung menjadi sumber inspirasi yang tiada kira untuk berkarya. Hewan ini mampu mengilhami munculnya lukisan, patung, puisi, fabel, dan masih banyak lainnya. Bahkan capung jugalah yang mengilhami terciptanya helikopter. Luar biasa bukan?
Saya kira semua kalangan senang karena bisa ngalap manfaat dari keberadaan capung. Jika di dunia ini tidak ada hal yang sempurna, bisa jadi satu-satunya pihak yang tidak senang dengan keberadaan capung adalah konglomerat dengan sistem kapitalisnya. Sebab capung bisa menjadi indikator alami kebersihan lingkungan, terlebih kualitas airnya. Jadi jika lingkungan telah rusak karena polusi, sebagai dampak industri yang berkembang pesat bak cendawan di musim penghujan, maka capung-capung akan mulai hilang di lingkungan itu.
Keheningan tercipta setelahnya, lalu tangan dan kaki maju dengan gerakan sehalus mungkin. Akan ada dua kemungkinan, capung terbang meninggalkan hati yang dongkol atau tertangkap menumbuhkan kebahagiaan tiada kira. Cara itu diterapkan jika menangkap capung menggunakan tangan kosong. Ada dua teknik yang biasa digunakan, satu lainnya menggunakan bakul plastik tipis – hasil pemberian nasi uduk khajatan tetangga – yang ditusuk dengan ranting kayu kecil.
Begitulah kiranya masa kecil anak-anak di desa saya. Setiap musim penghujan tiba di manapun tempatnya capung berterbangan menghiasi pemandangan sudah menjadi kelaziman. Kinjeng, begitu masyarakat di daerah saya menyebutnya.
Mulai dari kinjeng dom (capung jarum) yang berukuran paling kecil berwarna indah menawan, hingga kinjeng bung, capung paling besar yang biasanya berwarna hijau pudar dengan corak kehitaman. Ada juga yang menjadi primadona, kinjeng nganten yang berukuran sedang berwarna merah mencolok atau kuning terang.
Sepulang sekolah atau madrasah anak-anak beramai-ramai mencari capung hingga ke pematang sawah. Harapannya semakin banyak yang mencari, tentu akan semakin banyak yang didapat. Lalu setelah ditangkap bagaimana?
Capung itu bisa saja ditali bagian ekornya lalu diterbangkan layaknya layang-layang, bisa juga dilepaskan begitu saja. Kondisi kedua lebih sering terjadi, sebab yang penting sudah bisa menangkap saja akan menjadi kepuasan tersendiri. Kebahagiaan kolektif pun tercipta di kalangan anak-anak.
Rupanya capung tidak hanya bisa membawa rasa gembira bagi anak-anak. Orang tuanya pun turut kecipratan manfaat dari capung. Jika saat TK diajarkan lagu nama-nama jari oleh guru, tiba saat jari jempol biasanya kalimat yang digunakan adalah, “Anak TK nggak boleh ngompol”. Bisa dibilang capung lah yang mewujudkan isi dari lagu itu – meskipun sebenarnya banyak juga anak-anak SD yang masih mengompol.
Mitos yang berkembang di masyarakat sekitar saya, yaitu jika ada anak yang masih mengompol sebagai obat mujarabnya adalah capung. Bukan untuk dimakan, melainkan orang tua akan mencarikan capung untuk digigitkan ke pusar anaknya. Terkadang kalau capungnya tidak kunjung menggigit akan dilakukan berbagai cara supaya terjadilah gigitan itu. Teknik itu dirasa cukup efektif sebagai solusi bersama.
Orang tua mana yang tidak merasa senang kalau anaknya sudah tidak mengompol lagi? Tidak perlu mengeluarkan tenaga berlebih untuk membereskan dan menyucikan najis bekas ompol anaknya. Alhasil hati merasa tenang tanpa beban tambahan.
Peningkat Ekonomi dan Ilmu Pengetahuan
Penjelasan di atas baru terkait manfaat capung untuk kalangan berdasarkan usianya, belum lagi yang berhubungan dengan profesi. Mayoritas masyarakat di desa saya adalah petani di sawah tadah hujan, sehingga bertanam padi yang notabene tanaman dengan kebutuhan banyak air, dilakukan saat musim penghujan. Di musim-musim lainnya tanaman di sawah cukup beragam; terkadang kacang-kacangan, jagung, semangka, tembakau atau lainnya; tergantung si empunya lahan.Tanaman padi memang tergolong cukup ribet dan membutuhkan perhatian khusus. Banyak penyakit dan hama yang menyerang pertumbuhannya, sampai-sampai bisa menyebabkan gagal panen. Artinya bisa saja petani mengalami kerugian, baik waktu, tenaga, maupun finansial.
Capung yang termasuk hewan predator bisa menjadi musuh alami bagi hama pengganggu tanaman. Larvanya yang hidup di air turut menjaga kelestarian akar dan bagian bawah batang padi yang terendam air dari penyakit tanaman. Begitu pula dengan versi dewasa yang bisa kita nikmati keindahannya. Capung menjadi pemangsa hama wereng yang dikenal ganas itu, berlaku juga untuk hama lainnya. Tentu ini akan meningkatkan kemungkinan keberhasilan dan kualitas panen padi.
Satu hal yang tidak pernah saya kira sebelumnya, dari beberapa referensi yang telah saya baca, ternyata capung cukup efektif untuk mengurangi populasi nyamuk. Sebab nyamuk memang salah satu makanannya. Berkurangnya popuasi nyamuk sebagai vektor dari berbagai penyakit berbahaya – seperti malaria, kaki gajah, dan DBD – akan sangat menguntungkan manusia. Terkait ini, bisa dibilang capung turut serta menjaga kesehatan manusia. Mengurangi jumlah yang sakit sekaligus memotong kemungkinan keluarnya biaya lebih untuk berobat.
Lain lagi kebermanfaatannya bagi akademisi dan peneliti. Banyaknya jenis capung di Indonesia, bisa menjadikan beragamnya penelitian tentang capung, mulai dari morfologinya yang tentu berbeda satu sama lain hingga lebih mendalam terkait fisiologi. Juga penelitian yang berhubungan dengan biodiversitas di lingkungan tertentu.
Ladang garapan tentang capung bisa memunculkan kolaborasi silang keilmuan antara fakultas kedokteran, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, fakultas pertanian, dan fakultas ilmu budaya. Di sini tidak perlu lagi “saingan” antara bidang saintek dengan soshum, karena memang sejatinya hampir semua hal bisa dikolaborasikan. Ranah ilmiah menjadi lebih hidup dan bermanfaat.
Capung juga bisa menjadi penolong mahasiswa. Oleh karena objek garapan yang masih luas tentang capung, tentunya masih banyak celah penelitian yang bisa dimanfaatkan. Garapan itu nantinya akan memunculkan karya ilmiah yang bisa digunakan untuk menulis paper, bahan konferensi, atau bahkan penyusunan skripsi, tesis, atau disertasi sebagai syarat kelulusannya.
Bagi seniman, sastrawan, dan budayawan; capung menjadi sumber inspirasi yang tiada kira untuk berkarya. Hewan ini mampu mengilhami munculnya lukisan, patung, puisi, fabel, dan masih banyak lainnya. Bahkan capung jugalah yang mengilhami terciptanya helikopter. Luar biasa bukan?
Saya kira semua kalangan senang karena bisa ngalap manfaat dari keberadaan capung. Jika di dunia ini tidak ada hal yang sempurna, bisa jadi satu-satunya pihak yang tidak senang dengan keberadaan capung adalah konglomerat dengan sistem kapitalisnya. Sebab capung bisa menjadi indikator alami kebersihan lingkungan, terlebih kualitas airnya. Jadi jika lingkungan telah rusak karena polusi, sebagai dampak industri yang berkembang pesat bak cendawan di musim penghujan, maka capung-capung akan mulai hilang di lingkungan itu.
Infografik Capung - Kholil Media |
0 komentar
Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun