Penulis
Khaolil Mudlaafar, Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Khaolil Mudlaafar, Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Saat-saat seperti ini banyak mahasiswa yang disibukkan dengan persiapan Ujian Akhir Semester (UAS), mulai dari ujian tulis, ujian lisan, seringnya presentasi, sampai ujian take home. Begitupun para dosen yang sibuk mencari jam pengganti guna memenuhi jumlah perkuliahan agar sesuai ketentuan. Baik mahasiswa maupun dosen mayoritas sepakat untuk menyelesaikan perkuliahan sebelum lebaran. Sebagai “manusia normal” tentu akan lebih memilih lebaran dengan tenang tanpa beban daripada lebaran ditemani tugas UAS yang membingungkan.
Membicarakan tugas mengingatkanku pada obrolan di suatu siang dengan seorang teman. Dia mengeluh karena banyaknya tugas kuliah sekaligus mempunyai tanggungan dalam organisasi. Terlebih karena organisasinya saat ini sedang melaksanakan salah satu program kerja yang kebetulan dia menjadi ketua panitianya. Sebenarnya semua akan baik-baik saja apabila anggota dari kepanitiaan itu aktif dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas. Namun akan menjadi masalah jika ada yang menghilang tanpa jejak, sialnya kondisi inilah yang saat ini dialaminya.
“Fokus Kuliah” dan Kesadaran
Dia juga menceritakan sebenarnya sudah beragam cara dilakukan agar anggota yang tidak aktif itu bisa berkontribusi. Akan tetapi seakan semua sia-sia karena jawaban yang didapatkan hanyalah, “Maaf, aku mau fokus kuliah”. Aku yang mendengar dari ceritanya saja menjadi geram. Pasalnya hal itu juga sering kualami dalam berbagai organisasi (kebetulan aku aktif di beberapa organisasi). Menurutku jawaban seperti itu sangatlah tidak bijak. “Ah, omongan macam apa itu! Kuliah kan memang sudah menjadi kewajiban utama seorang mahasiswa. Jika demikian, saat ini statusku pun mahasiswa dan sedang kuliah,” tanggapan itu yang lantas terlontar dari mulutku.
Banyak yang dengan sadar (tidak sedang tidur, koma, mabuk atau semacamnya), tanpa paksaan serta dengan kondisi sehat memutuskan untuk bergabung dalam sebuah organisasi. Tapi kok tidak pernah berpartisipasi dalam setiap agendanya? Jangankan ikut, bahkan menampakkan batang hidung pun tidak pernah. Sepertinya rayuan (atau bualan?) saat screening seleksi masuk berhasil. Berhasil mengelabui pengurus organisasi yang mengharapkan orang-orang yang serius, hingga "terpaksa" menolak pendaftar lain yang bisa jadi malah benar-benar ingin serius berproses dalam organisasi itu.
Semestinya menjadi seorang mahasiswa dengan segala ke-“maha”-annya sudah bisa mengatur hal-hal seperti itu. Sadar dalam memutuskan memilih menjadi golongan mahasiswa yang hanya kuliah-pulang kuliah-pulang (kupu-kupu) atau menjadi golongan aktivis – aktif dalam hal ini bisa dengan cara menjadi mahasiswa organisatoris dengan bergabung dalam organisasi (apapun itu). Tentunya apabila memutuskan menjadi golongan yang disebut terakhir itu juga harus sadar akan konsekuensinya, bergabung dalam organisasi berarti memposisikan diri untuk bisa bersosialisasi dengan orang lain (terutama sesama anggota organisasi) untuk mewujudkan tujuan bersama.
Padahal menjadi (lagi-lagi) mahasiswa yang dikenal sebagai kaum intelek semestinya memiliki daya analisis yang tinggi. Sadar bahwa mengikuti sebuah organisasi berarti membangun banyak relasi yang siapa tahu akan sangat dibutuhkan di kehidupan selanjutnya (setelah kuliah), apalagi mengikuti banyak organisasi bisa dipastikan relasi akan semakin banyak. Hal yang menurutku perlu diingat adalah lebih baik menjadi mahasiswa kupu-kupu daripada ikut organisasi namun hanya sebagai benalu, ada (ikut) namun tidak memiliki manfaat atau bahkan cenderung merugikan organisasi itu dan orang-orang di dalamnya. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain?
Fakta yang Ingkar
Seringkali aku dibuat heran, malah cenderung sinis. Omongannya sih “fokus kuliah”, namun faktanya di kelas rame lah, tidur lah, main lah dan seolah-olah meniadakan keberadaan dosen – dalam hal ini kegiatan belajar mengajar. Oke kita anggap yang semacam itu sudah menguasai ilmu yang diajarkan, mungkin malamnya (sudah) belajar. Akan tetapi apakah benar? Buktinya ketika ada diskusi di kelas juga diam saja seperti patung. Ah, bisa jadi yang semacam itu tipe-tipe introvert atau biar tidak dibilang sok pintar. Mmmm... namun bukannya tidak boleh pelit (menyimpan sendiri) ilmu ya? Bukankah berbagi melalui diskusi merupakan salah satu perwujudannya?
Lalu jika ada tugas individu mengumpulkannya telat, kala ada tugas kelompok juga hanya menumpang nama. Terus lebih kasarnya lagi Indeks Prestasi(IP)-nya kok tidak ada peningkatan? Katanya mau fokus kuliah, bukankah IP/Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) merupakan indikator formal keberhasilan (kefokusan) itu? Mana bukti "fokus kuliah" itu?
Hanya Mencari Kambing Hitam
Sepertinya omongan "fokus kuliah" hanya menjadi kambing hitam dan merupakan impian yang sangat utopis. Bahkan bisa jadi yang mengkambinghitamkan "fokus kuliah" tidak tahu apa arti dari perkataan itu. Ibarat anak kecil yang terjatuh akan menyalahkan tanah atau bahkan kodok yang sama sekali tidak ada ketika itu.
Bisa jadi malah “fokus kuliah” menjadi alat untuk menyalahkan organisasi yang diikuti. Seolah-olah karena mengikuti organisasi itu perkuliahannya menjadi kacau, nilainya anjlok, dimarahi dosen, tugas terbengkalai, atau sebagainya. Padahal seperti yang sudah dibahas sebelumnya, tidak ada yang memaksa untuk bergabung dengan organisasi. Faktanya dirinya sendiri juga yang tidak bisa memposisikan dengan baik. Semestinya mengatur waktu/jadwal menjadi urusan pribadi yang sudah harus diselesaikan sebelum berurusan dengan orang banyak.
Baca juga: Idealisme Luntur di Akhir Tahun
Kekhawatiranku ketika yang semacam itu sudah selesai kuliah dan terjun di masyarakat. Apabila sudah kerja di saat yang sama juga menjadi anggota atau bahkan pengurus dalam sebuah organisasi di masyarakat. Lalu akan menjadikan “fokus kerja” sebagai kambing hitam untuk bersikap apatis dan asosial, sehingga jangankan untuk mengikuti organisasi sebagai anggota aktif, bahkan menyapa tetangganya pun tidak pernah. Kalau sudah seperti itu nanti saat memiliki hajat dan mengundang para tetangga jangan pernah berharap bantuan atau hanya sekadar datang, apalagi sampai minta amplop berisi uang.
Tulisan ini telah dimuat di Subrubrik Mimbar Mahasiswa - Solopos pada tanggal 5 Juni 2018 dengan proses penyuntingan.
0 komentar
Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun