Type something and hit enter

author photo
Oleh On
Jalan Maut Pribumi di Bawah Penguasa Tirani
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels - Kholil Media
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels - Kholil Media

Pramoedya Ananta Toer telah dikenal luas melalui karya-karya yang dihasilkan. Ia pernah mengalami pengasingan di tiga era kekuasaan sekaligus, yaitu pada masa Kolonial, Orde Lama dan Orde Baru. Kehidupannya sebagai penganut paham kiri menjadikan Pram harus menyandang status sebagai salah satu tahanan politik akibat kondisi rezim pada saat itu. Namun dari pengalaman itu membuat pemikirannya semakin kritis yang kemudian dituangkan dalam karya-karya tulisnya. Karya berjudul “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” merupakan salah satu karya berupa novel yang ditulis dengan latar belakang historis berdasarkan pengalamannya.

Buku ini merupakan cetakan ke-12 yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara dengan tebal berjumlah 148 halaman. Isinya membahas tentang salah satu kebijakan Daendels dalam tugasnya mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, yang pada saat itu berkuasa di India, dengan membangun jalan raya. Jalan itu membentang sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa, dikenal dengan sebutan Jalan Raya Pos. Sisi lain pembangunan jalan itu adalah memudahkan transportasi.

Dimulai dengan kedatangan Daendels pada tanggal 5 Januari 1808 di daerah Anyer kemudian menuju Batavia. Perjalanan dari Anyer hingga Batavia ia tempuh dalam waktu sekitar empat hari, waktu yang cukup lama dengan jarak yang tidak begitu jauh. Jika musim hujan datang, jalan yang ia lintasi tidak bisa dilalui. Hal tersebut merupakan salah satu latar belakang Daendels ingin membangun jalan itu, selain faktor untuk memperhankan Pulau Jawa dari Inggris.

Pelaksanaan pembangunan jalan raya yang membentang dari Anyer sampai dengan Panarukan dilakukan dengan mewajibkan penguasa-penguasa pribumi untuk menyediakan tenaga kerja secara paksa. Daendels sendiri dikenal sebagai orang yang sangat kejam dan juga tidak mengenal ampun, maka tidak mengherankan jika pembangunan jalan itu dapat selesai dalam kurun waktu satu tahun saja, hal tersebut merupakan sebuah prestasi pada zamannya.

Pembangunan jalan raya itu membawa dampak di berbagai daerah, seperti yang terjadi di Anyer, Cilegon, Banten, Serang, Tangerang, Batavia, Jatinegara, Depok, Bogor, Priangan, Cimahi, Bogor, Sumedang, Karangcembung, Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Juwana, Tuban dan kota-kota lainnya di daerah pantai utara Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels, banyak terjadi pembunuhan secara besar-besaran (genosida) akibat adanya perintah kerja paksa (rodi) untuk membangun jalan raya itu.

Pada pelaksanannya, Pemerintah Kolonial mengalami kesulitan, salah satu contohnya adalah ketika pembangunan jalan raya di daerah Priangan. Di Priangan ruas jalan raya pos yang menghubungkan antara Cisarua dengan Cugenang sepanjang 22 kilometer mulai menemui medan yang sangat berat, yaitu jalan tersebut harus menembus punggung sebelah utara dari Gunung Pangrango atau pada waktu itu kompeni menamainya dengan sebutan Gunung Biru. Pada waktu itu pembangunan Jalan Raya Pos belum menggunakan alat-alat peledak seperti dinamit, sehingga dalam usahanya untuk menembus Gunung Pangrango masih menggunakan alat-alat yang sangat sederhana dan juga masih menggunakan tenaga-tenaga manusia. Maka banyak korban dari kalangan para pekerja pribumi di daerah ini yang berjatuhan karena kelelahan, kehabisan tenaga, kelaparan dan juga meninggal akibat kecelakaan kerja mengingat bahwa medan yang harus dihadapi sangat berat.

Daendels juga harus menghadapi halangan yang datang dari penguasa pribumi setempat. Di daerah Sumedang, Daendels harus menghadapi perlawanan dari penduduk setempat yang dipimpin oleh Pangeran Kornel. Perlawanan ini membawa dampak besar dari pihak pribumi, yaitu untuk pertama kalinya proses pembuatan jalan menelan korban sebanyak 5.000 jiwa. Hal ini merupakan sebuah kejahatan genosida yang terjadi di daerah Sumedang ketika masa pemerintahan Daendels.

Daendels adalah seorang Gubernur jendral yang dikenal sangat ganas dan kejam, sehingga ia terkenal dengan sebutan Jendral Guntur, Tuan Besar Guntur, Mas Guntur, Marsekal Besi, bahkan di daerah Jawa Barat ia disebut Mas Galak, sebab ribuan pribumi meninggal ditangannya. Daendels sendiri adalah penganut cita-cita Revolusi Perancis dengan semboyan “kemerdekaan, persaman, persaudaraan”. Ia juga percaya bahwa setiap manusia dilahirkan sebagai makhluk merdeka dan mempunyai hak yang sama. Namun sebagai penguasa, Daendels yang pada awalnya merupakan seorang revolusioner kemudian berubah menjadi seorang diktator yang sangat bengis sekaligus kejam.

Selain tindak kejahatan genosida yang dilakukan oleh Daendels, dalam buku ini Pramoedya juga menerangkan tentang kejahatan genosida yang juga dilakukan Jan Pietersz Coen, dikenal sebagai pendiri Batavia. Genosida yang dilakukan oleh Coen ini terjadi di Pulau Banda tepatnya pada 8 Maret 1621 sampai dengan 11 Maret 1621. Pada genosida ini tidak pernah ditemukan angka jumlah korban jiwa yang pasti, hal ini karena jumlah korban dari tindakan Coen ini mungkin terlalu banyak.
***

Penulisan peristiwa dalam buku ini tidak memiliki kronologi waktu yang jelas dalam masa yang sama. Sejatinya peristiwa yang ditulis harus sesuai dan berurutan dengan waktunya agar tidak menimbulkan anakronisme, sedangkan tulisan yang dibuat oleh Pramoedya, meskipun runtut, akan tetapi diselipkan dengan peristiwa-peristiwa dari masa yang sama sekali berbeda. Sehingga runtutan cerita yang ditulis tidak dapat dikonfirmasi kebenaran seutuhnya.


Pram agaknya juga hanya menampilkan kisah-kisah yang ingin dia ungkapkan saja tanpa berusaha menjelaskan peristiwa-peristiwa lainnya secara mendetail. Padahal dalam penulisan sejarah waktu adalah aspek yang sangat penting sebagai pembeda sejarah degan karya sastra, sebab sejarah memiliki sifat-sifat yang berhubungan dengan waktu  secara jelas. Sejarah memiliki ruang dan waktu kejadian secara pasti.

Selain itu dalam penulisan buku ini tidak ada tokoh yang jelas. Tokoh yang disampaikan merupakan fiktif dan tidak berhubungan langsung dengan peristiwa yang disampaikan. Perbedaan antara karya-karya sejarah tulisan ilmiah dengan buku ini terletak pada penokohan. Penokohan dalam karya ilmiah selalu dikemukakan secara gamblang dengan latar belakang sejarah yang dijelaskan dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, sementara tokoh yang diciptakan oleh Pramoedya bisa saja hanyalah tokoh buatan yang diciptakan demi membangun cerita yang ingin dia gubah. Ia juga melibatkan pandangan pribadi dalam buku itu, sehingga objektivitas  dari peristiwa yang ditulis menjadi berkurang. Berbeda dengan penulisan sejarah yang sangat mengedepankan fakta dan sebisa mungkin meminimalisasi adanya pandangan pribadi yang bersifat subjektif.

Hal paling utama yang membedakan buku ini dengan tulisan sejarah ilmiah adalah kebebasan Pramoedya dalam mengantarkan cerita tersebut sesuai kehendaknya. Sementara sejarawan tidak bisa melakukan hal yang sama karena sejarah sebagai suatu cabang ilmu yang berpegangan pada suatu peristiwa yang tidak bisa diubah sesuai keinginan sendiri, sebab masa lalu adalah penting adanya bagi suatu peradaban dan anakronisme sejarah tidak dapat diterima. Sementara Pramoedya memiliki kebebasan sebagai penulis novel fiksi yang meskipun memiliki sumber sejarah sebagai pegangan dasar dalam tulisan fiksi sejarahnya, namun dia masih memiliki kekuasaan untuk mengubah cerita sesuai dengan alur kisah yang dirancang dan dikehendaki untuk kelancaran cerita yang ditulisnya.

Buku “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” tepat dibaca oleh semua kalangan karena bisa menjadi pintu masuk dalam mengenal peristiwa sejarah pada masa kolonial, terutama di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels. Akan tetapi buku ini tidak bisa dijadikan sebagai sumber sejarah, sebab penulisannya dalam bentuk novel yang merupakan karya sastra (fiksi), meskipun cerita yang disampaikan menggunakan latar belakang sejarah. Namun buku ini tetap bisa menjadi salah satu sumber kajian bagi kalangan akademisi dan sejarawan terkait historiografi di Indonesia.

0 komentar

Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun