Cerita rakyat dari Kecamatan Gunem
KI
BADAR KENCANA dan NYI QORIYAH
Pada zaman dahulu ada
sepasang suami istri yang Bernama Ki Badar Kencana dan Nyi Qoriyah, mereka
hidup di daerah jawa bagian selatan. Mereka sakti mandraguna, walaupun begitu keduanya taat pada agama. Hidupnya damai,
banyak masyarakat menyukai tingkah lakunya. Mereka mempunyai sebuah perguruan
ilmu kanuragan dan bela diri. Mereka juga
berusaha menyebarkan ilmu agama pada murid-muridnya.
Setelah beberapa tahun mereka mengajar, tiba-tiba ada orang yang tidak
suka dengan tindakan yang dilakukan keduanya. Entah mengapa perkara yang
membuat orang tua itu benci terhadap Ki Badar Kencana dan Nyi Qoriyah, tetapi
yang jelas orang itu beragma lain dan juga mempunyai padepokan bela diri
sendiri, yang jumlah muridnya lebih sedikit di bandingkan padepokan milik Ki
Badar Kencana. Orang itu berusaha mencari cara untuk menghancurkan nama baik Ki
Badar Kencana dan istrinya dihadapan sang murid. Pada suatu malam orang itu
berusaha mencuri kitab yang digunakan oleh Ki Badar Kenacana untuk mengajar
murid-murid di padepokannya.
Tapi Tuhan masih menyelamatkan nasib Ki Bandar Kencana, dengan cara
tiba-tiba Ki Badar Kencana bisa terbangun dari tidurnya karena adanya peristiwa
itu. Karena ketahuan oleh pemiliknya, orang itu lari dengan membaw kitab milik
Ki Badar Kencana. Keduanya bertarung dengan kesaktiannya masing-masing tidak
menghiraukan yang lain. Pertarungan terjadi dengan begitu sengit dan
menegangkan. Setelah beberapa waktu akhirnya Ki Badar Kencana sedang berdoa
untuk mengeluarkan ilmu dan tenaganya.
Karena kalah Ki Badar Kencana pulang ke rumahnya dengan kondisi tubuh
yang lemas dan wajah penuh luka, tenaganya habis karena pertarungan berlangsung
begitu lama. Ki Badar Kencana mempunyai ide kepada sang istri, “Nyi sebaiknya
kita pergi saja dari wilayah ini, sepertinya orang itu akan menyerang ke sini
kembali dengan murid-muridnya. Dan untuk memperbaiki serta mengembangkan ilmu
kita kembali”. “tidak Ki, kita tidak boleh menyerah begitu saja” ungkap Nyi
Qoriyah. “Tenang saja Nyi, kita pasti akan kembali ke sini lagi jika waktunya sudah tepat” tegas ki Badar Kencana. “Ya
sudah terserah Aki saja” sahut Nyi Qoriyah.
Akhirnya kesepakatan untuk pindah telah ada diantara mereka. Dengan itu
mereka pergi dengan keinginan yang diharapkan. Di tengah-tengah perjalanan
mereka berhenti untuk beristirahat serta untuk menyebarkan ilmu agama,
kedatangan mereka di masyarakat awalnya ditolak bahkan dibenci, karena mereka
dianggap sebagai musuh. Tetapi karena masyarakat sudah tahu kepribadian Ki
Badar Kencana dan istrinya, akhirnya masyarakat bisa menerima dengan baik.
Setelah beberapa tahun mereka di situ akhirnya mereka meneruskan
perjalanan. Mereka memutuskan untuk melakukan perjalanannya ke arah utara, karena hutannya yang masih
lebat, menurut mereka cocok digunakan sebagai tempat tinggal. Mereka sampai di
daerah pantai Utara Kota Rembang. Sampailah mereka di sebuah hutan lebat di
lereng Gunung Botak seperti yang
mereka inginkan. Agar hutan itu bisa ditempati mereka mencari cara dengan
membuka hutan itu dengan ilmu yang dimiliki.
Tidak lebih dari tiga hari, akhirnya tempat yang dulunya hutan sekarang menjadi tanah yang lapang. Mereka membangun
sebuah rumah kecil yang digunakan sebagai tempat berteduh sekaligus sebagai
rumahnya. Untuk memenuhi kebutuhannya mereka memanfaatkan kekayaan alam yang
berada di sekitarnya. Keduanya bisa hidup aman dan damai, karena segala
kebutuhannya didapat dari alam.
Tempat mereka sudah ramai dan banyak orang, tapi ada salah seorang pemuda
yang sifatnya kurang disukai oleh masyarakat. Dia selalu mementingkan diri
sendiri, tanpa memikirkan orang yang lain. Ketika ada acara syukuran desa yang
lain ikut bergotong royong tapi berebda dengannya, dia malah hanya enak-enakan
saja di rumah. Karena masyarakat sudah bosan dengan tingkah lakunya,
sampai-sampai ketika ia mendapat masalah tidak ada yang mau mendekatinya.
Walaupun telah
dikucilkan perilakunya tetap saja tidak berubah, dia tetap merasa dirinyalah yang paling tinggi dan hebat. Dia tahu
Ki Badar Kencan begitu sakti
dan paling hebat di daerahnya, karena dia tidak mau kalah dengan Ki Badar
Kencana dia mencoba untuk melawan dengan mengajak bertarung. Sampai pada suatu
waktu, dia datang ke rumah Ki
Badar Kencana untuk mengajak adu kesaktian. “Akulah yang paling hebat dan sakti”
kata pemuda itu. “ Apakah benar pendapatmu begitu?” Tanya Ki Badar Kencana. “Benar, kalau tidak percaya
kita coba adu kesaktian” ungkap pemuda. “karena sifatmu yang sombong dan egois
dalam bahasa jawanya disebut brekongkong,
maka jika ramainya zaman maka tempat ini akan aku namakan “Brengkong”
kata Ki Badar Kencana. Sekarang tempat itu menjadi sebuah dusun.
Pertarungan terjadi antara Ki Badar Kencana dan pemuda itu. Setelah berlangsung begitu lama akhirnya pemuda itu
dapat dikalahkan oleh Ki Badar Kencana. Pemuda itu mencoba membunuh Ki Badar
Kencana, karena masyarakat melindungi Ki Badar Kencana, masayrakat mencoba
menangkap pemuda itu. Masyarakat
mengejar sampai ke berbagai tempat, tetap tidak berhasil karena memang pemuda itu mempunyai ilmu yang
juga sangat tinggi. Beberapa bulan setelah peristiwa pengejaran yang dilakukan
oleh masyrakat, pemuda itu menganggap keadaan telah aman sehingga dia kembali
kerumahnya. Salah seorang warga dari masyarakat mengetahui keadaan pemuda itu,
dia melaporkannya kepada warga yang lainnya.
Dengan diam-diam masyarakat menggerebek rumah pemuda itu dan menangkapnya. Masyarakat menjatuhkan hukuman
dengan cara menusuk pemuda itu dengan bambu dan dagingya dipotong-potong,
hukuman itu dinamakan Hukum Picis. “Mengapa kalian membunuhnya? Seharusnya kalian menghukumnya bukan
seperti itu” Tanya Ki Badar Kencana. “Sikapnya sudah begitu keterlaluan Ki”
jawab masyarakat. “Karena kalian telah
terlanjur membunuh pemuda itu dengan hukum picis. Maka jika tempat ini sudah
ramai aku namakan “Picis” kata Ki Badar Kencana. Keadaan telah
aman lagi, masyarakat telah hidup tenang dan memperdalam ilmu agama kepada Ki
Badar Kencana dan Nyi Qoriyah. Agama telah masuk dalam kehidupan masyarakat.
Ki Badar Kencana mempunyai rencana untuk membuka hutan yang ada di
sekitarnya dengan mengajak istri dan beberapa masyarakat. Setelah hutan
terbuka, mereka bersama-sama mebangun tempat tinggal. Ada suatu kejanggalan di tempat yang mereka
tempati, barang-barang, hewan ternak, dan harta benda mereka setiap hari hilang
tidak jelas. Tidak diketajhui penyebabnya, mereka merasa milikya selalu saja
berkurang dalam bahasa jawanya “kalong
terus” jadi mereka menyebutnya dengan nama “Kalongan”. Karena
khawatir jika keadaannya seperti ini terus akan membuat harta mereka habis,
mereka memutuskan pindah dari tempat itu.
Mereka berjalan ke arah barat.
Sampai ditempat yang lapang, Ki Badar Kencana sebagai pemimpin mereka memutuskan
untuk tinggal disitu. Berbagai masalah mereka hadapi bersama sampai
berhasil. Tetapi mereka terkena suatu masalah yang sulit dihindari, yaitu
tempat mereka ditempati ketika hujan airnya selalu berkumpul jadi satu di situ. Akibatnya mereka bersusah-payah mencari tempat yang aman, dalam
bahasa jawanya disebut “Klitah-Kliteh” dan sampai sekarang tempat itu dinamakan
Dukuh Kliteh. Karena desa tersebut tidak bisa berkembang menjadi
sebuah desa yang besar dan karena mengalami masalah seperti itu Ki Badar
Kencana mengajak istrinya dan sebagian orang untuk pindah ke tempat yang lebih
tinggi.
Mereka menemukan pohon jambu yang
sangat besar. “Di sana ada pohon besar yang
buahnya lebat, dan diatas juga banyak kelelawar pemakan buah, jadi kita
makan buah yang jatuh bekar kelelawar, agar kita tidak susah-susah” kata Ki
Badar Kencana. “Baik” ucap Nyi Qoriyah. Kini hidup
mereka sudah tidak pernah ada masalah
lagi dan aman, bahkan hidup mereka begitu makmur dan bahagia. Mereka mempunyai
perkebunan yang setiap tahun panennya melimpah. Mereka selalu mengadakan
syukuran kepada sang pencipta alam. Ki Badar Kencana dan istrinya mempunyai
pendapat untuk membangun sebuah perkampungan, dan karena hasil panennya selalu
melimpah dalam bahasa jawanya “unduh-unduhane
mesti akeh”, maka tempat itu oleh Ki Badar Kencana dan istrinya dengan nama
Desa Dowan. Beberapa tahun kemudian Ki Badar Kencana meninggal,
sebelum keinginannya dapat tercapai untuk kembali ke Padepokan miliknya. Dan
kini Desa Dowan termasuk dalam wilayah Kecamatan Gunem.
***S E K I A N***
0 komentar
Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun