Format Buku :
Judul
Buku : SKANDAL BANK BALI TRAGEDI
PERPOLITIKAN INDONESIA
Penulis :
Drs. Gouzali Saydam, BC,TT
Prolog : Pradjoto, S.H, M.A
Epilog : Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H
Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Edisi : Pertama, November 1999
Tebal
Buku : 314 halaman
Fisik : Hitam, bergambar palu dan
sidik jari
Skandal Bank Bali |
Isi :
PROLOG
SKANDAL
BANK BALI DAN HUKUM “IKAN PRESTO”
Pradjoto,
S.H, M.A
(Pengamat
Hukum & Perbankan)
Pada
Indonesia mengalami krisis moneter (krismon), mencuatlah skandal Bank Bali yang
pada dasarnya berawal dari ketidakwajaran besarnya komisi atau fee Rp.
546 miliar yang diterima PT. Era Giat Prima (EGP) pimpinan Setya Novanto dan
Djoko S. Tjandra dari Bank Bali.
Kasus
skandal Bank Bali (BB) merupakan ujian berharga untuk melihat apakah hukum akan
selalu ditaklukkan oleh kekuasaan. Jika demikian, jangan kaget kalau
usaha-usaha untuk membuat proses ‘pelunakan’ terhadap hukum, menjadi semakin
gencar. Begitu gencarnya, sampai-sampai hukum diidentikkan dengan seekor ikan
presto. Remukkan sampai tulang dan durinya sebelum disajikan sebagai
hidangan.
Terdapat
kejanggalan yang mencolok dalam perikatan (cessie)yang dibuat Bank Bali
(BB) dengan PT. Era Giat Prima (EGP). Tidak dipenuhinya persyaratan UU yang
memerintahkan cedent (Bank Bali) untuk memberitahukan kepada pihak
debitor. Dan tidak dipenuhinya syarat pembayaran kecuali klausul janji untuk
membayar dengan instrumen Surat Berharga, yang ternyata tidak juga dilakukan.
Makna
dari itu semua. Pertama, perjanjian cessie itu sengaja
disembunyikan dengan alasan-alasan yang tidak diketahui oleh siapa pun, kecuali
pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian itu. Kedua, perjanjian cessie
adalah payung bolong untuk berteduh. Ketiga, karena itu jangan heran
jika pembayaran yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dengan cara
mengkreditkan account BB di BI. Bukannya membayarkan langsung dengan
EGP. Keempat, perjanjian antara BB dan EGP telah melanggar pasal 1338
KUHP yang berisi tiga hal utama, yaitu, undang-undang, kepatutan, dan
kepentingan umum.
Berdasarkan
semua keanehan tersebut, maka sangat wajar jika uang dikembalikan kepada escrow
account BB di BI oleh karena memang secara yuridis BB tidak memiliki
kewajiban hukum apapun kepada EGP. Serangkaian keanehan tersebut tidak akan
dapat dibedah hanya dengan mempelajari fakta-fakta. Namun harus dilihat melalui
serangkaian peristiwa yang melahirkan keanehan tersebut.
BAB
1
TRANSAKSI
YANG MENGEGERKAN
Pada
mulanya Bank Bali berasal dari Bank Persatuan Dagang Indonesia yang sudah
berdiri sejak tahun 1954 atas nama Kita Karjadi dan Petrus Halim Sugiri (Gatra,
7/8-99). Pada tahun 1971 bank tersebut dibeli oleh Djaja Ramli kelahiran Purwakarta
Jawa Barat (1926), ayah kandung dari Rudy Ramli. Dan setelah berganti
pemiliknya bank tersebut berganti nama menjadi Bank Bali. Dengan bekerja sama
dengan beberapa perusahaan, akhirnya Bank Bali menjadi semakin membesar dan
menonjol.
Djaja
Ramli yang telah memimpin bank selama dua dekade, akhirnya dia mempersiapkan
Rudy Ramli sang putra yang kelak akan menggantikan posisinya. Rudy dikirim
magang ke sejumlah cabang Sanwa Bank di Amerika Serikat, sambil berkuliah di
University of Southern California, AS dan lulus pada tahun 1983, dan pada tahun
1992 Rudy Ramli menggantikan posisi ayahnya menjadi Direktur Utama Bank Bali.
Kepemimpinan
Rudy Ramli dengan ayahnya memang berbeda jauh,. Djaja ketika mengelola Bank
Bali terkenal dengan sikap konsistennya. Konsistensi inilah yang tampaknya
sulit dilakukan Rudy Ramli, seorang bankir muda yang disebut-sebut memiliki
reputasi cemerlang di Indonesia. Indikasinya, hampir setiap tahun pasti ada
penghargaan internasional yang diraih
bank ini. Selain itu, kinerja usahanya juga terus tampak paling mengkilap di
antara bank-bank swasta, dan bank publik lainnya. Di bursa efek (BEJ), saham
Bank Bali yang diperdagangkan dengan kode BNLI, merupakan salah satu emiten
paling aktif, dan kerap menjadi penggerak pasar. (Ekbis, 16/8-1999).
Rudy
terlalu ekspansif dalam mengelola Bank
Bali, sehingga ia kerepotan mengembalikan kinerja banknya, ketika krismon
meluluh lantahkan industri perbankan di Indonesia. Sebagai bank yang cukup
besar, ia juga tidak dapat menghindarkan diri dari kredit macet antar bank yang
tidak tertagih. Pada Maret 1998, Bank
Bali mempunyai tagihan di Bank Tiara, BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia),
dan BUN (Bank Umum Nasional) – (Republika, 16/8-99).
Piutang
yang dilakukan BDNI sebesar RP. 1, 7 triliun
akan ditagih Rudy. Karena status semua bank yang mempunyai piutang kepada Rudy
adalah BTO (Bank Take Over) dan BBO (Bank Beku Operasi), maka Rudy harus
berurusan dengan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), karena hal itu
merupakan jaminan dari pemerintah. Tapi sejak Agustus 1998, upaya tersebut
seperti membentur tembok.
Untuk
itu, Bank Bali membuat surat kuasa yang menguasakan kepada Hendra, waktunya
tiga bulan. Kesepakatannya adalah Hendra akan mendapatkan 7,5% dari tagihan
pokok yang nilainya sekitar Rp. 778 miliar, sedangkan jika bunga dari dana
pokok ini keluar akan dibagi rata, masing-masing 50%. Fee untuk bunga
ini sangat besar, sebab itu Rudy tak yakin BI dan BPPN akan membayar bunga
tagihan itu. Tapi seperti yang diberitakan Republika (16/8), tampaknya
Hendra mengalami kesulitan dan kemudian menghubungi Djoko Tjandra.
Kemudian
Djoko Tjandra menawarkan jasa untuk menagih kepada Rudy, awalnya Rudy tidak
mengindahkan. Tetapi karena sampai awal Desember tagihan tak juga keluar,
akhirnya Rudy melirik Djoko. Menurut Rudy, awalnya Djoko terlihat mampu, tapi
ternyata kesulitan juga.
Diceritakan,
bahwa sudah sembilan bulan – sejak Maret sampai Desember 1998 – Bank Bali
dengan berbagai cara mengurus tagihannya ke BPPN. Bahkan katanya, sampai terkesan
mengemis-ngemis, padahal dana itu milik Bank Bali. Inilah pertama kalinya Rudy
melakukan pembelaan, setelah sejak beberapa hari sebelumnya ia menjadi
bulan-bulanan karena ketertutupannya. Termasuk ketika memenuhi panggilan Bank
Indonesia (BI), ia mengecoh wartawan agar tak mewawancarainya. Ketika itu ia
didampingi pengacara Arjoso dan kawan-kawan. “Sekarang saya takut baca koran”,
karena berita yang dikembangkan media masa sudah ke arah yang sama sekali tidak
ia bayangkan. “Saya tidak tahu kenapa terus dikaitkan dengan politik”, katanya.
Kejanggalan
yang terjadi dalam soal besarnya pemberian fee kepada PT. EGP yang
berhasil menagihkan piutang Bank Bali kepada BPPN kemudian dianggap ada sesuatu
yang tidak beres, atau telah terjadi skandal dalam persoalan Bank Bali
tersebut. Kondisi ini cepat dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa kriminal yang
sebelumnya sering terjadi dalam Bank Bali ini dianggap telah turut
memperpanjang daftar kejahatan yang dilakukan para bankir dan pemilik bank.
Upaya
Djoko dalam melakukan proses pencairan dana piutang Bank Bali itu, konon
setelah ia mengantongi surat perjanjian cessie dari Rudy Ramli, Djoko
menghubungi Pande Lubis, Wakil Ketua BPPN Bidang Pengelolaan Kewajiban Bank,
awal Mei 1999 (GATRA, 7/8/99). Waktu itu Ketua BPPN Glenn Yusuf sedang
bepergian ke luar negeri. Setelah membaca proposal yang disodorkan Djoko, Pande
nampaknya menyetujuinya untuk langkah selanjutnya, Djoko, konglomerat properti
pemilik Grup Mulia itu, mendirikan PT. Era Giat Prima (EGP) untuk membeli
piutang Bank Bali. Ia mengajak Setya Novanto, yang dalam jagat politik dikenal
sebagai Wakil Bendahara Partai Golkar, sebagai Direktur Utama perusahaan baru
tersebut. Menurut Novanto, ia sudah lama mengenal Djoko, dan telah pernah
memiliki proyek bersama dalam pembangunan Gedung Markas Polda Metro Jaya di
kawasan Semanggi, Jakarta. Namun, keluarnya izin bagi Djoko untuk melakukan
penagihan piutang Bank Bali tersebut banyak mengundang kritik.
CBC
(Center for Banking Crisis) adalah salah satu pihak yang cukup gigih
membongkar kasus-kasus hitam perbankan. Fakta menunjukkan amburadulnya perbankan
nasional disesabkan bankir dan pemilik bank itu sendiri yang melakukan proses
pembusukan dari dalam. Para konglomerat tak bermoral ini telah menilep dana
masyarakat untuk disalurkan ke kantong sendiri, bukan menyalurkannya kepada
nasabah yang benar-benar memerlukan.
Kemelut
perbankan Indonesia membuat Bank Bali akhirnya terpaksa angkat tangan, dan
menyerah pada tawaran Standard Chartered Bank (SCB), yang menyatakan
kesediaannya menyuntikkan modal, agar Bank Bali bisa ikut dalam program
rekapitalisasi. Ada beberapa kesulitan
yang di alami Rudy, kesulitan itu berdasarkan hasil due dilligence yang
dilakukan SCB terhadap Bank Bali sejak 22 April 1999. Setelah mengutak-atik
neraca Bank Bali selama tiga bulan, pada 20 Juli, SCB menemukan kondisi bank
itu semakin buruk.
Selain
itu, SCB menemukan dua kejanggalan selama masa due dilligence berlangsung.
Pertama, terjadinya penambahan kerugian akibat ada pembayaran kepada
pihak ketiga sebesar Rp. 540 miliar, sehubungan dengan klaim antarbank sebesar
Rp. 904 miliar. Kelak, lenyapnya dana sebesar Rp. 540 miliar itu yang kemudian
menyebabkan kehebohan, yang menimbulkan skandal Bank Bali. Kedua, manajemen
Bank Bali di bawah Rudy Ramli dianggap menggembosi aset. Akhirnya SCB menunda
penyuntikan dana ke Bank Bali, sehingga Bank Bali terpaksa masuk BTO. BPPN
nampaknya punya pertimbangan lain, sehingga tidak membekukan operasi Bank Bali.
“Bank Bali punya manajemen bagus dan jaringan yang cukup luas. Dalam posisi
terakhirnya, Bank Bali memiliki 281 cabang di dalam negeri dan empat cabang di
luar negeri (GATRA, 7/8/99).
Untuk
selanjutnya BPPN mengambil alih pengelolaan bank yang telah berusia 45 tahun
itu. Untuk selanjutnya Bank Bali dipimpin oleh Douglas Beckett, kepala SCB
wilayah Asia Tenggara. Disebutkan bahwa kemitraan SCB dan Bank Bali disiapkan
untuk mengubah wajah perbankan Indonesia
(Republika: 19/8-99). Kendati SCB sudah masuk, tak berarti BPPN
bakal kehilangan peluang untuk meraih keuntungan sama sekali. Sebab, dalam
kesepakatan yang ditanda tangani 15 April 1999 menyebutkan antara lain: BPPN
mempunyai hak lebih dulu untuk membeli kepemilikan pada penawaran saham
terbatas. Bila BPPN tak mengambil haknya, SCB berhak menguasai saham hingga
100% (GATRA, 7/8/99).
Pengamat
perbankan Rijanto malah meragukan objektivitas SCB dalam melakukan audit Bank
Bali (Media Indonesia, 23/9-99). Sementara itu, Deputi Senior BI, Anwar
Nasution menilai hasil audit yang dilakukan SCB itu jelas menggambarkan ada
sesuatu yang tak beres dalam Bank Bali.
Sorotan
publik terhadap kasus Bank Bali lebih terarah pada skandal Money Politics,
sehingga isu lainnya terkesan terlupakan begitu saja, seperti soal
pengambilalihan Bank Bali oleh SCB, yang ditengarai juga diwarnai praktek mark
up. Dan BPPN dituding telah berkolusi untuk kepentingan bank asing tersebut
(Abadi, No.47/Th.I,20-26/9/99).
Sebagai
lembaga yang bertanggung jawab untuk menyehatkan kehidupan di tanah air, BPPN
tentu saja peranannya dalam pencairan tagihan Bank Bali mendapat sorotan tajam
dari berbagai kalangan. Dengan banyaknya kritik dan tudingan yang diarahkan
kepada lembaga pimpinan Glenn Yusuf ini, maka BPPN menilai ada pihak yang
sengaja mendiskreditkan badan tersebut. Hal ini berkaitan dengan berbagi
komentar menyusul terungkapnya kasus Bank Bali (Republika, 13/8/99).
Sebagaimana
diberitakan Republika, dalam siaran pers BPPN saat (13/8/99)
perekonomian Indonesia mengalami “bolong” sebesar 600 triliun yang harus
“ditambal”, dan BPPN bertujuan untuk mengoptimalkan pengembalian uang negara.
Namun ada juga pihak yang memang sekedar memanfaatkan kasus ini untuk tujuan
politiknya.
Wakil
Ketua BPPN, Farid Harianto, mengatakan bahwa Bank Bali diduga telah melakukan
penjualan aset yang nilai totalnya mencapai 130 juta dolar AS (Republika,
18/8/99). Namun SCB membantah adanya penjualan aset Bank Bali sebesar 130 juta
dolar AS itu.
Heboh
mengenai perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT. EGP yang dianggap
kurang wajar itu, telah menggerakkan BI dan BPPN berupaya untuk mengembalikan
dana yang diduga keluar secara ilegal dari Bank Bali itu. Untuk itu BI
menurunkan tim pemeriksa ke Bank Bali, beberapa hari setelah bank malang
tersebut diambil alih (BTO) oleh pemerintah. “Tim kita sudah masuk Bank Bali
yang dari hasil penelitian itu, nanti dilihat, apakah ada cessie. Kalau
memang ada, akan dilihat, apakah itu memenuhi aturan atau tidak. Bila tidak,
dan ada uang yang seharusnya tidak keluar dari Bank Bali, uang itu harus
kembali ke Bank Bali”, kata Sjahril Sabirin, Gubernur BI (Republika,
10/8/99).
Deputi
Senior Gubernur BI, Dr. Anwar Nasution menilai pengembalian dana ke Bank Bali
tersebut merupakan langkah positif namun mengenai aspek pidananya, ia
menyatakan hal itu bukan urusan BI. BI hanya berkewajiban mengamankan uang
negara. Dengan pengembalian dana itu, menurutnya, pemerintah sekarang lebih
serius ketimbang pemerintah sebelumnya dalam menangani masalah perbankan.
Kendati, dalam skandal Bank Bali ini BI menyerahkan masalah hukumnya ke polisi,
namun bukan berarti BI lepas sama sekali. “BI tetap akan berkewajiban
memberikan kesaksian soal kasus ini”, tambahnya, seperti diberitakan Pikiran
Rakyat.
Dengan
terungkapnya skandal cessie Bank Bali, Mabes Polri bersikap proaktif
dengan meminta Ditjen Imigrasi untuk mencegah tangkal (cekal) empat mantan
direktur Bank Bali dan dua direktur PT. EGP yang diduga kuat terlibat kasus itu
(Republika, 10/8/99). Keempat direksi Bank Bali dan dua pimpinan PT. EGP
yang bakal terkena cekal itu adalah Rudy Ramli (Dirut Bank Bali), Firman
Soetjahja, Hendry Kurniawan (mantan wapresdir Bank Bali), Rusli Surjadi (mantan
wapresdir Bank Bali), Setya Novanto ( Direktur Utama PT. EGP), dan Djoko S.
Tjandra ( Direktur PT. EGP). Nama-nama merekan konon tercantum dalam dokumen
dan surat perjanjian penggalihan tagihan (cessie) Bank Bali dan PT. EGP.
Pada
18 Agustus 1999, mantan Direktur Utama Bank Bali, Rudy Ramli diperiksa penyidik
Mabes Polri atas tuduhan penggelapan dan penipuan berkaitan kasus
pengalihan penagihan piutang (cessie)
antara Bank Bali dengan PT. EGP milik Setya Novanto (Pikiran Rakyat,
19/8/99).
Para
tersangka disangka dengan penipuan dan penggelapan seperti diatur pasal 41 ayat
1 dan 2 UU No.10/1998 tentang Perbankan, pasal 372 dan 378 KUHP serta dugaan
korupsi yang diatur UU No.3/1971 tentang Korupsi.
Sementara
itu, karena merasa dirugikan oleh Bank Bali, PT. EGP menyatakan akan menuntut
balik Bank Bali, meskipun perusahaan milik Setya Novanto tak melihat adanya
beban hukum setelah pengembalian dana hasil transaksi cessie. Dengan
pengembalian uang tersebut, menurut kami sudah tidak ada lagi persoalan hukum.
Tapi kami akan tetap tuntut Bank Bali”, kata OC Kaligis, pengacara Setya
Novanto (Republika, 20/8/99).
BAB
2
PETINGGI
PARTAI BERINGIN TERSERET?
Terkuaknya
skandal Bank Bali pada akhir Juli 1999, membuka mata orang atas semakin
semrawutnya sistem perbankan di tanah air. Kesemrawutan ini konon di mulai
sejak 1 November 1997, ketika otoritas moneter Indonesia (Menteri Keuangan dan
Gubernur BI Kabinet Pembangunan VI) melikuidasi 16 buah bank yang dianggap
tidak sehat. Keenam belas bank tersebut adalah :
Nama Bank Terlikuidasi 1 November 1997
(Dalang-dalang Penghancur Bangsa)
No.
|
Nama
Bank
|
No.
|
Nama
Bank
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Bank
Andromeda
Bank
Anrico
Bank
Astria Raya
Bank
Citrahasta
Bank
Dwipa Semesta
Bank
Guna Internasional
Bank
Harapan Sentosa
Bank
Industri
|
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
|
Bank
Jakarta
Bank
Kosagraha
Bank
Majapahit
Bank
Mataram
Bank
Pasific
Bank
Pinaesaan
Sejahtera
Bank Umum
South
East Asia Bank
|
Di
samping itu, konon ada empat buah bank lagi yang seharusnya kena likuidasi,
ternyata lolos dari tangan otoritas moneter, yaitu: Bank Yama, Bank Utama, Bank
Subentra dan Bank Surya.
Tindakan
likuidasi dilakukan sebagai salah satu syarat yang diajukan oleh Dana Moneter
Internasional (IMF), lembaga yang akan membantu krismon Indonesia dengan
syarat-syarat yang berat, agar dilakukan penyehatan perbankan yang beroperasi
di Indonesia. Akibat likuidasi tersebut, muncul reaksi keras dari Bambang
Trihatmodjo (pemilik Bank Andromeda) dan Probosutedjo (pemilik Bank Djakarta).
Mereka menganggap ada gerakan politik di belakang otoritas moneter.
Dengan
demikian, munculnya skandal Bank Bali, hanya merupakan buntut dari kebijakan
dunia perbankan Indonesia, yang segala utang piutang dari bank terlikuidasi
akan dijamin oleh pemerintah, sehingga para pengelola bank berlomba-lomba untuk
membangkrutkan banknya sendiri dengan segala cara dan upaya. Bila ditelusuri
lebih mendalam, kebijakan ini, sedikit banyak telah turut memicu munculnya
berbagai macam skandal dunia perbankan, dan salah satunya menyeret Bank Bali.
Ribuan
kader Pemuda Pancasila (PP) pada 19 Agustus menegaskan sikapnya, yakni jika
pihak kepolisian tidak memproses kasus penghinaan dan pencemaran nama baik
Yapto Soerjosoemarno yang dilakukan Setya Novanto, maka mereka akan menjadikan
Novanto buronan yang bakal terus dikejar. “Kita siap turun ke jalan, kalau
kasus ini tidak dituntaskan. Novanto itu pembohong besar, dia harus membuktikan
ucapannya”, kata salah seorang Ketua PP kepada penyidik di Mapolda Metro Jaya (Rakyat
Merdeka, 20/8/99). Seperti diketahui, bahwa Novanto pernah menuding Ketua Umum DPP PP Yapto
Soerjosoemarno sebagai debt collector. Tudingan tak mengenakkan ini
sempat tersiar di salah satu surat kabar ibu kota. Pihak PP menganggap bahwa
Novanto telah melakukan penghinaan terhadap Yapto, karena berdasarkan
bukti-bukti yang diserahkan ke pihak penyidik Polda Metro Jaya, Novanto
bersalah.
Barang
bukti yang diserahkan pihak PP kepada petugas antara lain transkrip dan kaset
rekaman pernyataan Novanto berkaitan dengan keterlibatannya dalam skandal Bank
Bali yang merugikan uang negara ratusan miliar rupiah.
Di saat
hujatan badai kritik atas keterlibatannya dalam skandal Bank Bali, akhirnya
Setya Novanto memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepengurusan Partai
Golkar (Republika, 20/8/99).
Setelah
pencekalan yang dilakukan pihak berwajib terhadap tersangka kasus Bank Bali,
maka izin pemeriksaan bagi tersangka Setya Novanto yang juga anggota MPR, sudah
dikeluarkan presiden untuk memperlancar penyelesaian kasus Bank Bali. Menurut
Pjs Jaksa Agung, ia sudah menerima surat izin itu dan segera mengirimkannya ke
Kapolri agar pemeriksaan segera dapat dilakukan (Republika, 27/8/99).
Melalui pemeriksaan tersebut ia mengharapkan sesegera mungkin akan bisa disimpulkan apakah kasus Bank Bali
termasuk tindak pidana umum atau pidana khusus.
Skandal
ini pertama kali diekspos ke tengah-tengah masyarakat oleh Prdjoto, SH, seorang
pengamat perbankan. Isu ini menjadi lebih bermuatan politik, karena nama Setya
Novanto berkaitan erat dengan Golkar. Dan tragisnya lagi, Pradjoto bukan hanya
mengklarifikasikan temuannya dengan para petinggi Golkar, tetapi malahan ia
juga menginputkannya kepada para petinggi PDI Perjuangan. Laporan Pradjoto,
tentu saja bagaikan ‘pucuk dicinta ulam tiba’, bagi partai berlambang banteng
gemuk itu untuk ‘menghabisi’ lawan politiknya. Padahal partai ini sedang
berseteru dengan Golkar untuk memperebutkan kursi presiden. Maka jadilah ia
menjadi isu pertarungan elite politik, ketimbang masalah pidana ekonomi semata.
Skandal
cessie Bank Bali merembet ke
sejumlah pejabat yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kunci yang dituding ikut
berperan melicinkan transaksi tersebut. Tokoh-tokoh yang dituding berperan,
baik langsung atau tidak langsung antara lain adalah :
Ginandjar Kartasasmita (Menko Ekuin)
CBC
menuding Ginandjar bahwa pada April 1999 telah memerintahkan BI untuk
membayarkan L/C-L/C bank swasta yang jatuh tempo tanpa verifikasi (Oposisi,
Edisi 54, 22/8/99). Dan Ginandjar juga dinilai telah memicu keluarnya Keppres
No.26/1998 tentang Penjaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Perbankan. Dari sini
Ginandjar berperan besar dalam memperburuk sistem bank-bank swasta, sekaligus
pemerintah harus mengeluarkan uang rakyat untuk mengambil alih Bank Beku
Operasi (BBO).
Bambang Subianto (Menteri Keuangan)
Bagaimanapun
juga Bambang Subianto sebagai otoritas moneter sedikit banyak ikut berperan
dalam memuluskan pencairan dana Bank Bali. Konon ia telah mengeluarkan surat
No.SR-176/MK01/1999 tanggal 13 Mei 1999 yang ditujukan kepada Gubernur BI.
Isinya, memerintahkan Gubernur BI agar segera membayarkan tagihan interbank Rp.
4,855 triliun atas bank-bank swasta.
Padahal L/C bank swasta yang jatuh tempo tersebut belumdiverivikasi
terhadap publik. Karena campur tangan Menteri Keuangan ini menyebabkan Piutang
Bank Bali yang sebenarnya sudah hilang waktu menjadi hidup lagi (Oposisi,
Edisi 54, 22/8/99). Peluang inilah yang dimanfaatkan Djoko dan Novanto dari PT.
EGP untuk menguras uang Bank Bali sebesar Rp.546 miliar, yang sekaligus juga
uang negara.
Glenn MS Yusuf (Kepala BPPN)
Dituding
turut bertanggung jawab langsung atas Skandal Bank Bali. Ia ditengarai berperan
besar dalam pencairan dana pemerintah untuk sejumlah bank yang diduga sementara
kalangan mengakibatkan bobolnya uang negara triliunan rupiah, termasuk dalam
skandal Bank Bali. Ketua BPPN mengirim nota dinas kepada Menteri Keuangan
No.ND-05/BPPN/0499 tanggal 22 April 1999, berisi rekomendasi Kepala BPPN agar klaim Bank Bali terhadap BDNI dapat
dibayarkan. Rekomendasi itu yang memungkinkan terjadinya pencairan dana untuk
Bank Bali, yang menyebabkan terjadinya skandal bank tersebut. Oleh sebab itu,
konon BPPN akan membatalkan cessie
antara Bank Bali dan PT.EGP setelah kasus tersebut meledak.
Sjahril Sabirin (Gubernur Bank Indonesia)
Sebagai
Gubernur BI, otoritas moneter ini dituding berperan dalam rekomendasi Surat
BPPN No.380/BPPN/0699 tanggal Juni 1999 tentang hasil verifikasi atas klaim PT.
Bank Bali. Selain itu Gubernur BI juga berperan mengenai permohonan dari BPPN
agar BI segera melakukan pembayaran di muka atas klaim antarbank, dari enam
bank rekapitalisasi kepada Bank Umum yang dibekukan pada tahun 1998 dan 1999.
Jumlah netto yang terbayarkan, konon sebesar Rp. 435,5 miliar.
Tanri Abeng (Menteri Negara Pemberdayaan BUMN)
Dia
dituduh berperan dalam kasus skandal Bank Bali, karena posisinya yang dianggap
strategis, dari sisi ekonominya.
A.A Baramuli (Mantan Gubernur Sulawesi Selatan & Tenggara dan
Ketua DPA)
Namanya
dikaitkan sebagai pemegang peran utama. Hal ini berawal dari rekaman
pembicaraannya dengan Direktur PT. EGP Setyo Novanto yang menghebohkan,
sehingga ia dituding sebagai otak kasus bank pimpinan Rudy Ramli itu. Dari
pembicaraan yang dibeberkan majalah mingguan GAMMA itu, seolah-olah ide
penyelewengan uang Bank Bali itu muncul dari dirinya.
Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN)
Dia
disebut-sebut sebagai orang yang berperan penting dalam memuluskan pencairan
dana cessie Bank Bali dari BI. Ia dituding menggunakan jabatannya
sebagai wakil BPPN, di saat Kepala BPPN sedang berdinas ke AS. Karena
ditengarai berperan langsung dalam skandal Bank Bali, maka ia direncanakan
untuk dinonaktifkan dari posisinya sebagai Wakil Ketua BPPN pada tanggal 9
Agustus 1999. Dengan pencopotan Pande itu diharapkan agar pengungkapan kasus
Bank Bali dapat segera dilakukan.
Tetapi
sebagian kalangan pengamat ekonomi, justru dengan pencopotan Pande akan
menimbulkan spekulasi baru yang akan mempersulit pemecahan masalah. Spekulasi
itu bisa berupa permasalahan Bank Bali pada akhirnya dipetieskan. Karena,
menurut masalah Bank Bali itu bukan lagi sekedar masalah bisnis atau hukum,
melainkan sudah menyinggung masalah politis seperti menyinggung-nyinggung
keterlibatan Presiden Habibie (Republika, 9/8/99).
Atas
meledaknya kasus Bank Bali, yang telah turut meramaikan suasana perpolitikan
Indonesia, Ketua Dewan Penasihat CBC, yang juga Ketua Umum DPP PAN Dr. Amien
Rais menuntut agar Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita, Menteri Keuangan Bambang
Subianto, dan Kepala BPPN, Glenn M. Yusuf mengundurkan diri dari jabatan mereka
(Kompas, 12/8/99). Ia menjelaskan beberapa temuan CBC seperti penerbitan
nota dinas oleh Kepala BPPN kepada Menteri Keuangan No.ND-05/BPPN/04/99 tanggal
22 April 1999 yang meminta Menteri Keuangan membayar klaim pinjaman antarbank
milik Bank Bali kepada BDNI sebesar Rp. 904 miliar. Padahal, menurutnya, nota
dinas itu jelas-jelas menyebutkan, menurut verifikasi BI klaim Bank Bali itu
tidak memenuhi persyaratan untuk dibayar.
Sementara
itu, praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengemukakan bahwa cessie
(perjanjian piutang kepada pihak lain) antara Bank Bali dengan PT. EGP cacat
hukum, karena ketika terjadi cessie, EGP tidak melakukan pembayaran
sepeserpun kepada Bank Bali. Padahal dengan cessie, PT. EGP sebagai
pembeli piutang harus melakukan pembayaran di depan kepada Bank Bali. BPPN dan
BI pun harus tahu tentang itu. “Cessie ini kan penjualan tagihan, dan
dalam penjualan tagihan itu Bank Bali harus dibayari lebih dulu. Karena tidak
terjadi pembayaran, maka cessie itu cacat hukum”, katanya (Kompas,
10/8/99).
Mencuatnya
skandal Bank Bali, telah menyeret berbagai pihak, termasuk juga Partai Golkar
dan Tim Sukses Pemenangan Capres (calon presiden) Habibie. Hal ini bermula dari
pelaku utama dari cessie antara Bank Bali dan PT. EGP adalah Setya
Novanto, yang juga menjabat Wakil Bendahara Partai Golkar. Karena fungsinya
sebagai Wakil Bendahara, maka orang beranggapan bahwa ia ditugaskan untuk
mengumpulkan dana bagi pemenang calon presiden yang diajukan Partai Golkar -
B.J Habibie – sehingga Tim Sukses Habibie juga disangkutpautkan dalam masalah
skandal Bank Bali tersebut. Namun, Ketua Umum Partai Golkar menegaskan apa yang
dilakukan Setya Novanto itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan partai yang
dipimpinnya. Sebab, semua tindakan Setya dalam kasus Bank Bali dilakukan dalam
kapasitasnya sebagai pengusaha, bukan sebagai kader Partai Golkar.
Menanggapi
tudingan yang cenderung menyeret Partai Golkar ke dalam kasus Bank Bali itu,
akhirnya partai berlambang beringin itu membentuk dua tim, untuk mencermati dan
mengamati keterlibatan seorang anggotanya, Setya Novanto dalam kasus Bank Bali.
Sementara itu, pengamat hukum perbankan Pradjoto sepakat melakukan gelar
perkara antara BPPN, Bank Indonesia, Depkeu dan PT. EGP untuk menuntaskan kasus
tersebut. “Kalau kegiatan usaha yang dilakukan Novanto ternyata terbukti
melawan hukum, kita tidak akan tinggal diam. Namun kita akan memberikan
kesempatan kepada tim untuk mencermati dan memberikan rekomendasi kepada DPP
Golkar” kata Akbar Tanjung, Ketua Umum DPP Golkar (Pikiran Rakyat,
6/8/99).
Sekaitan
dengan itu, Pradjoto, pengamat hukum perbankan pertama kali membeberkan skandal
Bank Bali, menemui Ketua Umum DPP Partai Golkar pada 5 Agustus 1999. Ia
mengakui bahwa kunjungan itu untuk “mengklarifikasi keterlibatan” Partai Golkar
dalam kasus Bank Bali (Republika, 6/8/99). Menurutnya, ia datang bukan
karena ada tekanan dari pihak manapun,
dengan tujuan untuk menjelaskan bahwa ia tak pernah menyatakan keterlibatan
Partai Golkar. “Saya hanya mengatakan, jangan-jangan kasus Bank Bali berbau Money
politics”, ujarnya. Tapi dia mengaku sama sekali tak memiliki data primer
yang dapat menunjukkan bahwa tuduhannya tadi benar.
Partai
Golkar boleh dikatakan telah menjadi bulan-bulanan lawan politiknya (PDI-P)
dengan tudingan bahwa partai berlambang beringin itu terlihat keras dengan
skandal Bank Bali. Tudingan itu dikarenakan
salah seorang Wakil Bendahara Golkar, Setya Novanto merupakan pemegang
peran utama disamping Djoko S. Tjandra dalam kasus yang menghebohkan itu.
Setelah long form audit PwC dibuka oleh pemerintah dan DPR pada 2
November 1999 secara resmi, memang disebut-sebut bahwa Golkar mendapat aliran
dana sebesar Rp. 15 miliar dari Wakil Bendahara Golkar Marimutu Manimaren.
Namun apakah dana yang dikirim ke Golkar oleh Manimaren itu benar dari hasil
skandal Bank Bali, atau dari sumber lain, inilah yang menjadi perbantahan, yang
mungkin akan berujung di pengadilan. Bila benar partai itu menerima limpahan
dana dari kasus Bank Bali, barangkali partai itu akan kena sanksi likuidasi atau
tidak boleh mengikuti pemilu 2004, karena melanggar UU No.2/1999, tentang
Partai Politik.
Seperti
telah disinggung di muka, bahwa presiden telah mengakui bahwa ialah orang yang
paling gondok terhadap meletusnya Bank Bali, karena itu ia menegaskan
bahwa pemerintah akan menuntaskan pengusutan skandal bank tersebut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia juga mengakui bahwa
meletusnya skandal Bank Bali, sedikit banyak telah menjadi gangguan bagi
kestabilan jalannya pemerintahan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun
ia bertekad untuk penyelesainya perlu dijunjung tinggi supremasi hukum.
Presiden merasa yakin bahwa kasus Bank Bali ini hanya sebagian dari kasus-kasus
lain yang kan muncul belakangan, karena itu perlu dihadapi dengan pikiran
jernih untuk memberi preseden yang baik bagi penyelesaian kasus serupa dimasa
datang.
Mengenai
pengusutan tuntas skandal Bank Bali, presiden mengatakan bahwa masalah itu kini
sedang diproses oleh Gubernur BI Sjahril Sabirin dan Menkeu Bambang Subianto.
“Kita tunggu saja”, katanya di hadapan para wartawan di Istana Negara pada 11
Agustus 1999 (Kompas, 12/8/99). “Apakah masalah Bank Bali ini sangat
penting, sehingga mempengaruhi pencalonan Bapak dalam SU MPR?”, tanya wartawan.
Menanggapi pertanyaan itu, Presiden Habibie mengatakan bahwa pemerintah bukan
bersikap reaktif terhadap pemberitaan, tetapi pro aktif. Menurutnya, kasus Bank
Bali akan diselesaikan secara tuntas.
Sebelumnya
masyarakat seolah-olah dikondisikan untuk menerima pendapat adanya istilah
Golkar putih dan Golkar hitam sebagaimana dipopulerkan oleh petinggi PDIP Kwik
Kian Gie, untuk menggambarkan bahwa tubuh Golkar dalam menyikapi skandal Bank
Bali tidak utuh, tapi terpecah. Istilah itu dikemukakan paka ekonomi itu
tatkala mengomentari pengaduan Pradjoto, pengamat hukum perbankan, mengenai
keterlibatan Setya Novanto Direktur Utama PT. EGP, yang kebetulan juga menjadi Wakil
Bendahara DPP Partai Golkar dalam skandal bank Bali. Pemunculan istilah putih
dan hitam itu, ditengarai oleh berbagai kalangan merupakan manuver politik
untuk memecah belahkan kekuatan Partai Golkar yang telah menetapkan akan
mencalonkan BJ Habibie menjadi Presiden RI mendatang. Salah satu target mereka
memunculkan manuver plitik itu adalah buat melumpuhkan kekuatan partai
berlambang beringin itu yang telah secara resmi mencalonkan Habibie. Karena itu
segala cara ditempuh buat menggerogoti keutuhan Partai Golkar.
Menurut
Nasir Tamara, kasus Bank Bali jelas merugikan pihak Habibie, yang merupakan
salah seorang kandidat dari tiga calon utama Presiden Indonesia bersama Gus Dur
dan Megawati. Kasus Bank Bali menambah daftar masalah KKN yang tidak
terselesaikan seperti persoalan mantan
Presiden Soeharto dan mantan Jaksa Agung Andi Ghalib. Rakyat melihat bahwa
ternyata orang-orang kuat tidak tersentuh oleh hukum. Karena itu, menurutnya,
kita tidak bisa menyalahkan rakyat bila mereka marah dan di antara mereka yang
tidak sabar ada yang membuat hukum sendiri. Untuk mencegah hal-hal tersebut,
katanya sekali lagi, tunjukkan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh dalam
menjalankan hukum yang adil. Tidak peduli siapa pun orangnya. Apakah skandal
Bank Bali yang dihebohkan dan telah menyeret orang-orang dekat dengan
presiden, benar-benar akan menjadi batu
sandungan untuk majunya mantan Menristek
sebagai presiden keempat, tentu memerlukan kesabaran setiap orang menunggu hari
penentuan pemilihan presiden di SU MPR 1999 pada 21 Oktober 1999.
EPILOG
BOLEH
DIPANGGIL
BILA
SISTEM PENGADILAN SUDAH MACET
Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H.
(Pengacara Senior)
Pemanggilan
Rudy Ramli oleh DPR saya kira baik, apalagi DPR dengan jelas telah
mengklarifikasinya. Namun, menurut saya apa yang dipertanyakan DPR hendaknya
tidak menyangkut materi yang sedang diperiksa oleh pihak justitusi – dalam hal
ini adalah pihak kepolisian. Dengan demikian kalau pihak DPR memahami
fungsinya, dan pertanyaannya patut atau tidak patut, layak atau tidak layak
diajukan sesuai dengan penghormatan pada negara hukum, saya kira upaya DPR
harus didukung dan dibantu sepenuhnya.
Tentang
tuntutan masyarakat yang menggebu-gebu agar pejabat mau dipanggil, didengar dan
diperiksa oleh DPR itu ide yang bagus. Namun, musti berimbang. Apa perlindungan
yang harus diberikan bagi warga negara itu. Sebab, setiap orang bisa kena
termasuk kita semua. Itu mesti ada penjelasan dan batasannya. Bukan untuk
apa-apa tapi untuk kita semua.
Mengenai
pertanyaan yang diajukan bisa politis, atau juga kebijakan yang menyangkut
hal-hal Bank Bali yang menyangkut bidang kebijakan. Misalnya soal
rekapitalisasi, apa yang sudah dilakukan Bank Bali yang direkap itu? Pada siapa
dia berusaha? Bank-bank mana saja yang ia hubungi? Apa hasilnya? Lalu di mana macetnya? Ini supaya bisa berimbang
juga dengan kebijakan pemerintah, baik atau tidak baik akibatnya atau dampaknya
bagi bank-bank di tanah air.
Manfaat
semua itu, adalah kalau memang ada permainan politik kekuasaan yang ternyata
menyebabkan Rudy Ramli ini dikorbankan. Itu yang harus dibongkar DPR juga. Hal
apa saja yang jadi korban politik di negara ini. Semuanya harus bisa didengar.
Disamping dari sudut kepentingan publik, sudut kepentingan dia juga harus
didengar secara berimbang. Misalnya, kalau ada tekanan atau ancaman.
0 komentar
Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun