Type something and hit enter

author photo
Oleh On
Ironi Kejahatan Seksual terhadap Anak
di Kota Layak Anak
Oleh: Khaolil Mudlaafar
Ilustrasi Kejahatan Seksual Terhadap Anak - Kholil Media ID
Ilustrasi Kejahatan Seksual Terhadap Anak - Kholil Media ID

       Sejatinya sudah sejak lama negara ini memperhatikan anak sebagai “kaum” yang perlu mendapatkan perlindungan. Anak juga termasuk golongan yang perlu diberikan kemudahan serta perlakuan khusus dalam segala aspek. Hal tersebut juga sudah mendapatkan jaminan dari berbagai konstitusi di Indonesia, mulai dari UUD 1945, UU, Perpres, Permen PPPA, bahkan hingga dibentuk badan khusus untuk menjamin hak anak yang sudah sangat masyhur di telinga, yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
       Tapi pertanyaan terkadang masih muncul tentang siapa yang bisa disebut anak itu. Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1989 dinyatakan bahwa, “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.” Hal senada juga tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 1 Angka 5, “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

       Namun sesuai definisi anak tersebut seringkali kita mendengar atau melihat dari berbagai sumber, baik media massa, media sosial, maupun dari bisik-bisik tetangga, bahwa banyak kasus kriminal yang menjadikan anak – sudah pasti yang dimaksud penulis adalah manusia yang berumur kurang dari 18 tahun – sebagai objek sekaligus korban kejahatan. Dari banyaknya kasus kriminalitas terhadap anak tersebut, kejahatan seksual menjadi kasus yang paling banyak terjadi terhadap anak. Bahkan sesuai data KPAI, pada tahun 2015 saja kejahatan seksual terhadap anak mencapai 59,30% dari semua kasus yang dilaporkan. Sangat ironis memang bila dibandingkan dengan banyaknya konsitusi yang membahas perlindungan anak, akan tetapi pada kenyataannya justru banyak anak yang kurang terlindungi haknya.
       Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mengatasi kasus tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk Kota Layak Anak (KLA). KLA dilaksanakan dibawah naungan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak. KLA sendiri terbagi menjadi empat kategori mulai yang terendah sampai tertinggi, yaitu Pratama, Madya, Nindya, Utama, barulah Kota Layak Anak. Dengan adanya predikat KLA, maka setiap kabupaten/kota berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Terdapat tiga puluh satu kriteria yang harus dipenuhi agar sebuah kabupaten/kota bisa disebut sebagai kota layak anak, salah satunya adalah pemenuhan hak anak. Hak anak disini termasuk mendapatkan perlindungan, perlindungan terhadap anak juga meliputi perlindungan dari kejahatan seksual.
       Akan tetapi apakah dengan berbagai predikat KLA sebuah kabupaten/kota benar-benar aman dari kejahatan seksual terhadap anak? Tidak. Penulis bisa mengatakan hal tersebut karena memang pada kenyataannya seperti itu. Kita tengok saja kasus yang pernah menjadi pembicaraan di seluruh penjuru nusantara, yaitu pemerkosaan siswi SMP usia 13 tahun oleh 8 orang di Surabaya, yang lebih miris lagi ternyata delapan pelaku tersebut tiga diantaranya masih duduk di bangku sekolah dasar, sedangkan lima lainnya merupakan siswa SMP yang tentu juga masih tergolong usia anak. Padahal Surabaya merupakan salah satu dari dua kota di Indonesia dengan predikat KLA tertinggi saat ini yaitu kategori nindya, selain Kota Surakarta. Karena memang belum ada satupun kota di Indonesia dengan predikat KLA kategori Utama maupun KLA itu sendiri.
       Kejadian tersebut membuat penulis tergugah untuk mengetahui hal sebernarnya, mengapa kejahatan seksual pada anak masih saja terjadi. Bahkan di kota layak anak dengan predikat tertinggi saat inipun, kejahatan seksual pada anak juga masih sering terdengar. Sehingga penulis memiliki spekulasi dengan kondisi fakta yang ada. Berikut akan disampaikan pendapat penulis tentang penyebab kejahatan seksual pada anak di kota layak anak. Disini penulis juga akan memberikan gagasan berupa solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada.
       Predikat KLA Bukan Sekedar Peningkat Pamor
       Penulis menganggap bahwa kebanyakan kabupaten/kota berlomba-lomba mendapatkan predikat sebagai kabupaten/kota layak anak, hanya agar dilihat “wah”, setidaknya daerahnya lebih baik daripada daerah tetangga (baca: kabupaten/kota lainnya). Banyak dari para pemimpin, pejabat, atau petinggi di sebuah kabupaten/kota mendengungkan penyuksesan program “Kota-X Menuju Kota Layak Anak Tahun 20##”. Seakan mereka akan menjadi pemimpin yang disegani karena telah berhasil membuat daerah yang dipimpinnya menjadi aman bagi kehidupan anak-anak. Mereka akan mendapatkan prestasi penghargaan dari Presiden RI dengan Menteri PPA secara langsung dengan istimewa di Istana Negara. Sehingga dimata masyarakat dirinya dipandang baik serta yang lebih kerennya lagi elektabilitas akan meningkat. Hal tersebut bisa menjadikan dirinya akan selalu menduduki posisi yang strategis dalam pemerintahan di daerahnya, atau paling tidak saat nyalon lagi masyarakat masih mau untuk memilihnya.
       Ajang “cari pamor” itulah yang menghambat perwujudan nyata dari kota layak anak yang sesungguhnya. Mestinya perbaikan suatu daerah menjadi ramah atau layak bagi anak dilakukan dengan maksud yang benar-benar untuk kepentingan rakyat. Para pejabat mengajak masyarakatnya untuk mewujudkan amanah dari Konvensi Hak Anak yang telah disepakati bangsa-bangsa di dunia. Karena Indonesia merupakan bagian dari bangsa di dunia internasional. Hal tersebut juga menjadi perwujudan dari salah satu Tujuan Nasional Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu ikut berperan aktif dalam melaksanakan ketertiban dunia.
       Bentuk tindakan yang bisa dilakukan pemerintah adalah melalui sosialisasi, dengan menjelaskan kepada masyarakat betapa pentingnya melindungi anak dari kejahatan seksual. Apabila anak terhindar dari kejahatan seksual maka perkembangan psikis serta mental atau kejiwaan mereka akan baik. Sehingga anak-anak bisa menggapai cita-cita mereka tanpa gangguan yang bisa membuatnya trauma. Karena anak juga menjadi generasi penerus yang akan membawa nasib bangsa kedepannya.
       Mempertegas Peraturan Daerah tentang Perlindungan Anak
       Pada kenyataannya, hampir semua daerah yang sudah mendapatkan predikat sebagai KLA belum tegas dalam menindak kejahatan seksual terhadap anak. Fakta ini terlihat dengan tidak adanya peraturan daerah yang secara spesifik membahas kejahatan seksual pada anak. Padahal pada tingkatan atas (baca: konstitusi negara) perlindungan anak juga telah dibagi lebih spesifik, salah satunya perlindungan dari kejahatan seksual. Kebanyakan peraturan daerah hanya membahas tentang pembangunan daerah, ekonomi daerah, dan sistem kepemerintahan daerah.
       Semestinya sebagai daerah dengan predikat KLA, memiliki perhatian khusus yang juga mengedepankan perlindungan anak melalui peraturan daerah. Baik itu dari upaya penindakan kejahatan seksual terhadap anak, maupun tentang anggaran daerah yang sudah disiapkan tersendiri untuk perlindungan anak.  Karena peraturan daerah juga bisa berfungsi sebagai pemertegas pelaksanaan konstitusi diatasnya. Misalnya dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dibahas bentuk-bentuk tindakan perlindungan terhadap anak, maka dalam peraturan daerah bisa dijelaskan pembentukan tempat bermain dan edukasi khusus kepada anak yang aman, untuk menghindari terjadinya kejahatan seksual pada anak.
       Pengoptimalan Lembaga Anak yang Telah Ada
       Daerah yang telah dinobatkan sebagai kota layak anak dengan kategori manapun bisa menjadi pilot project bagi daerah lainnya. Permasalahan klasik yang terjadi adalah lembaga pemerintah masih kurang memberi perhatian dengan adanya lembaga non-pemerintah. Begitupun dengan pemerintah daerah yang daerahnya sudah mendapatkan predikat sebagai kota layak anak, mereka belum bisa menjalin kerjasama yang baik dengan lembaga swasta perlindungan anak, dalam hal perlindungan anak dari kejahatan seksual.
       Padahal telah banyak lembaga yang memiliki perhatian khusus terhadap anak, akan tetapi perhatian pemerintah daerah tidak begitu tampak dalam pengoptimalan lembaga tersebut. Sebut saja ada lembaga Forum Anak Cabang (FAC), yang ada di setiap kabupaten/kota. Kemudian ada Kelompok Perlindungan Anak Daerah/Kelurahan (KPAD/K), yang menjadi lembaga pemerhati perlindungan anak di tiap-tiap desa/kelurahan.
       Keberadaan lembaga tersebut tentu juga memerlukan keuangan untuk kehidupan lembaganya, seperti dalam menjalankan suatu kegiatan atau yang lainnya. Ini akan kembali lagi terhadap ketiadaan anggaran daerah yang dikhususkan untuk perlindungan anak. Padahal anggaran daerah tersebut bisa disediakan untuk diberikan kepada FAC atau KPAD/K. Dengan sistem pemerintah daerah sebagai penyedia anggaran (baca: pembiayaan keuangan), kemudian FAC atau KPAD/K sebagai pelaksana kegiatan untuk pengoptimalan fungsinya sebagai lembaga perlindungan anak.
       Lembaga tersebut bisa menjadi penyelenggara sosialisasi kepada masyarakat tentang perlunya melindungi anak dari kejahatan seksual. Kemudian bisa mengadakan bimbingan dan konseling bagi para orang tua, tentang bagaimana melindungi anak dari tindakan-tindakan kejahatan seksual, pola asuh yang benar agar anak terhindar dari kejahatan seksual, serta pengawasan yang tepat untuk anak. Bimbingan juga dilaksanakan untuk anak dalam hal pengetahuan kesehatan reproduksi dan mental, dengan pemisahan sesuai umur atau metode lainnya yang lebih tepat. Tentu dengan pelaksanaan kegiatan tersebut, nantinya akan diberikan laporan pertanggungjawaban, dari lembaga pelaksana kegiatan terhadap pemerintah daerah  sebagai penyedia anggaran dana.
       Pemerataan Tempat Ramah Anak
       Pemerintah daerah dalam mewujudkan kota layak anak seperti masih setengah-setengah. Terlihat separuh hati dalam mewujudkannya. Terbukti hanya tempat-tempat tertentu yang dilakukan perbaikan, hanya sebatas tempat yang akan ditinjau untuk penilaian sebagai kota layak anak. Masih sedikitnya desa-desa yang dijadikan sebagai desa ramah anak. Padahal keberadaan desa ramah anak tersebut juga menjadi indikator idealnya sebuah daerah disebut sebagai kota layak anak.
       Seperti misalnya keberadaan banyak anak-anak di wilayah lokalisasi – kalau di Surakarta terdapat lokalisasi sekitar RRI – yang tidak diberi perhatian khusus. Padahal lingkungan mereka sangat rentan bagi perkembangan mental dan psikologisnya. Wilayah lokalisasi yang memang tempatnya seks yang dikomersialkan juga identik dengan alkohol dan mabuk-mabukkan. Tentu akan sangat mengancam anak dalam hal ini juga rentannya kejahatan seksual terhadap anak. Karena dengan adanya tempat untuk mabuk di lingkungan anak, apabila seorang yang mabuk dan hilang akalnya tentu bertindak diluar kewajaran. Mereka akan melakukan sesuatu untuk memenuhi nafsunya termasuk dalam hal seks. Apabila sampai ada anak di saat itu, sangat dikhawatirkan terjadi tindakan kejahatan seksual yang sangat merugikan anak.
       Memang tidak dapat dipungkiri bahwa lokalisasi di setiap daerah pasti ada. Mestinya perwujudan desa ramah anak dilakukan pemerintah, dengan mensterilkan wilayah yang terdapat anak-anak dari tempat-tempat berbahaya. Karena seperti wilayah-wilayah tersebut sangat rentan terjadi tindakan kejahatan seksual pada anak.
***
       Berbagai masalah yang telah dipaparkan oleh penulis, menandakan bahwa sebenarnya belum ada daerah yang benar-benar “layak anak”, sekalipun daerah tersebut sudah mendapatkan predikat sebagai kota layak anak. Kejahatan seksual terhadap anak masih banyak terjadi, bahkan dilingkungan sekeliling anak berada. Perhatian pemerintah daerah setempat juga masih sangat kurang. Masih terbatas di tempat-tempat tertentu.
       Namun gagasan yang diberikan penulis bisa menjadi solusi yang tepat dalam mengatasi kejahatan seksual terhadap anak. Mestinya pemerintah daerah memang perlu menyadari kekurangannya dalam membangun kota layak anak, apalagi dengan banyaknya kasus kejahatan seksual terhadap anak. Kesadaran tersebut juga perlu diimbangi dengan kebijakan dan tindakan-tindakan yang nyata. Sehingga suatu kabupaten/kota dengan predikat kota layak anak menjadi benar-benar pantas untuk disandang.

0 komentar

Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun