Type something and hit enter

author photo
Oleh On
 Cerdas Merespons Alam Ala Suku Bugis
Rumah Mengapung Suku Bugis - Kholil Media
Rumah Mengapung Suku Bugis - Kholil Media
Papan (tempat tinggal) menjadi satu dari tiga kebutuhan utama yang dibutuhkan manusia selain sandang dan pangan. Namun pernahkah terlintas dalam pikiran mengapa manusia butuh tempat tinggal sebagai hunian dan bermukim? Naidah Naing, seorang arsitektur sekaligus Dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar menjelaskan alasannya.

Tidak hanya sampai disitu, Naing menjelaskan konsep tersebut melalui studi kasus hunian Suku Bugis terutama masyarakat di sekitar Danau Tempe dengan rumah di atas air. Penjelasan tersebut dipaparkan dengan cukup baik dan lengkap dalam buku berjudul “Rumah Mengapung Suku Bugis” yang diterbitkan oleh Nuansa Cendekia Publishing & Printing, cetakan pertama pada Februari 2019 dengan tebal  312 halaman.

Kajian mendalam mengenai menghuni dan bermukim diperoleh Naing dari berbagai referensi ilmiah. Penjelasan mengenai konsep menghuni dan bermukim muncul akibat eksistensi manusia yang dipengaruhi alam semesta serta hubungannya dengan penciptanya. Menghuni dipengaruhi oleh kebudayaan sehingga memunculkan hunian, setiap hunian tersebut dari segi arsitekturnya dipengaruhi oleh budaya setempat. Secara jelasnya menghuni dan bermukim memiliki dua konsep, yaitu konsep identifikasi (mempengaruhi bentuk hunian) dan konsep orientasi (mempengaruhi tatanan ruang permukiman).

Adapun dalam menentukan hunian dipengaruhi oleh lokasi yang akan digunakan. Faktor pemilihan lokasi tersebut ditentukan oleh faktor sosial budaya dan sifat fisik lokasi (tanah, batuan, kemiringan dll). Sedangkan faktor pembangunan tempat bermukim dipengaruhi oleh faktor sosial, pemahaman tentang alam, agama, dan jagat raya.

Hunian juga merupakan bentuk adaptasi manusia dengan lingkungannya yang disebabkan oleh faktor kemudahan bermukim sesuai kebutuhan, faktor ekonomi, dan faktor kekerabatan. Berkumpulnya hunian di masyarakat memunculkan kelompok hunian yang disebut pemukiman. Pemukiman yang terbentuk umumnya di wilayah daratan, namun ada pula pemukiman di wilayah perairan yang dimulai dari daerah dekat sungai, danau atau laut. Pemukiman yang cenderung menghadap air terkait dengan perilaku kerja, sistem ekonomi dan kepercayaan masyarakat.

Secara umum terdapat dua tipe pemukiman di atas air, yaitu rumah panggung permanen dan rumah rakit (lunting, istilah di Kalimantan) mengapung. Adapun jenis rumah rakit di Indonesia bisa dibedakan menjadi dua tipe; yaitu rumah rakit mengapung tetap, umumnya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan; dan rumah rakit mengapung tidak tetap (berpindah-pindah), seperti yang ditemukan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan. Rumah rakit memiliki ruang dalam yang selain digunakan untuk beristirahat juga digunakan untuk beraktivitas sehari-hari. Bahan utama pembangunnya adalah kayu dan bambu tanpa ornamen ragam hias.

Pandangan Hunian Suku Bugis
Pandangan terhadap hunian memiliki arti khusus bagi Suku Bugis, rumah dianggap memiliki peranan yang menggambarkan kehidupan pribadi penghuninya dan status sosial dalam masyarakat. Struktur rumah yang mereka bangun berdasarkan kebutuhan ritual, sosial dan ekonomi. Terkait ruang dalam yang dibangun terdapat falsafah sendiri yang dipengaruhi oleh paham fosmologis (keseimbangan alam raya), mengandung nilai kesatuan keluarga dan menggambarkan anatomi diri sendiri. Ruang dalam menggambarkan aktivitas seimbang antara horizontal dan vertikal.

Ruang horizontal berfungsi sebagai hunian; ruang vertikal aktivitas penghuni terkait sistem kepercayaan, kegiatan ekonomi, kegiatan budaya dan kegiatan menghuni. Sedangkan tata ruang Suku Bugis di atas air cenderung terbuka, terutama ruang tamu dan ruang tengah. Bermakna bahwa ungkapan budaya dari gambaran jati diri orang Bugis yang terbuka dalam menerima tamu dan terbuka dalam menjalani aktivitas.

Adaptasi pemukiman di atas air menyesuaikan bentuk rumah dengan lingkungan perairan. Masyarakat juga menyesuaikan bentuk rumah terhadap kegiatan keagamaan, yang mendukung sistem ekonomi sesuai potensi lingkungan. Sistem pengetahuan, masyarakat dengan hunian di atas air berkembang mengenai pengetahuan tentang musim, gejala alam dan perbintangan, untuk mempermudah mengetahui waktu yang tepat ketika menangkap ikan, sesuai profesi mereka sebagai nelayan.

Mengenai Danau Tempe sebagai lokasi pemukiman masyarakat Suku Bugis di atas air, dahulunya merupakan danau yang sangat luas. Danau ini terletak di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidenreng Rappeng, dan Kabupaten Soppeng. Sebagian besar wilayahnya terletak di Kabupaten Wajo, terutama Kecamatan Tempe. Masyarakat pendukungnya adalah Suku Bugis dan Suku Makassar, mayoritas adalah Suku Bugis.  Namun danau ini mengalami perubahan kondisi fisik, semakin lama wilayahnya semakin menempit, sejak sekitar abad ke-14 Masehi.

Penebangan hutan secara luas, pembukaan lahan pertanian dan perkebunan dengan sistem ‘babat-bakar’ menyebabkan deforestasi yang pada akhirnya menjadi sebab terjadinya erosi yang parah dan pendangkalan danau serta muara sungai. Pada musim kemarau sebagian wilayahnya akan kering dan berubah menjadi daratan, hal itu membuat masyarakat selain mengandalkan perekonomian dari hasil ikan tawar pada akhirnya juga menjadi petani palawija. Sehingga palawija menjadi potensi besar bagi masyarakat sekitar Danau Tempe, selain pariwisata rumah mengapung tradisional yang dimilikinya.

Wilayah perairan danau dan daratan yang tidak menentu, tergantung musim, menyebabkan masyarakat bermukim yang mengikuti keberadaan air agar tidak bolak-balik ke daratan setiap harinya dengan jarak yang jauh. Nelayan setempat membuat tempat tinggal di atas air dengan bentuk rumah panggung khas Bugis. Rumah panggung di atas rakit dibuat bertiang rendah, berbeda dengan rumah panggung Bugis daratan yang bertiang tinggi, agar tidak mudah terbawa angin dan arus.

Masyarakat nelayan Danau Tempe dan sekitarnya menyebut rumah di atas rakit dengan sebutan bola mawang (bola= rumah, mawang= terapung atau mengapung). Rumah tersebut berbentuk segi empat dan model atap berbentuk pelana dengan tiang setinggi 40-50 cm yang diikat menyatu dengan rakit sebagai bagian bawahnya.

Rumah apung digunakan sebagai penunjang uatma profesi sebagai nelayan yang menangkap ikan lalu memproses ikan basah menjadi ikan kering. Masyarakat nelayan Suku Bugis di Danau Tempe memiliki stratifikasi sosial berdasarkan adat dan sistem ketenagakerjaan, yaitu (1) Macoa Tappareng, seorang tetua nelayan yang ditunjuk dan diangkat oleh nelayan melalui pemilihan langsung secara musyawarah dan mufakat; (2) Punggawa Palang, orang yang memenangkan lelang pada waktu pelelangan oleh pemerintah yang telah ditunjuk; (3) Punggawa Bungka, orang yang biasa memimpin kepengurusan sesuatu yang terkait dengan aktivitas penangkapan ikan; (4) Punggawa Cappeang, orang yang menguasai area penangkapan ikan tertentu tanpa melalui proses pelelangan, tetapi penguasaannya berdasarkan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun; (5) Punggawa Pakkaja, orang yang memimpin perahu; (6) Pakkaja Lala, nelayan biasa; dan (7) Sawi, nelayan yang bekerja pada seorang punggawa palawang atau papalele, termasuk nelayan yang bekerja pada punggawa pakkaja.


Selain stratifikasi sosial, masyarakat Suku Bugis di pemukiman mengapung mempunyai sistem kekerabatan ‘angkatan’, garis keturunannya berasal dari bapak atau ibu. Orang Bugis menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam sistem kekerabatan bilateral mereka, yaitu pihak ibu dan bapak memiliki peran serta guna menentukan garis kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki-laki maupun perempuan mempunyai peran sejajar dalam kehidupan sosial.

Masayarakat Bugis di Danau Tempe menganut Islam namun juga mengalami sinkretisme dengan ajaran tradisional. Mereka mempercayai ada makhluk penguasa danau yang diberi kepercayaan oleh Allah Swt. dalam menjaga Danau Tempe. Selain itu ada juga beberapa tempat di Danau Tempe yang dikeramatkan dengan ditandai menggunakan bendera warna merah, kuning dan putih. Terkait kepercayaannya, terdapat upacara ritual maccerak tappareng sebagai awal musim penangkapan ikan yang bertujuan agar terhindar dari bencana alam dan hasil tangkapan melimpah.

Di sisi lain, masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa rumah mengapung harus dijauhkan dari tempat keramat karena jika terlalu dekat maka rumah akan terbalik. Secara ilmiah, di setiap titik tempat suci/keramat terdapat gundukan tanah pada permukaan dasar danau yang berkontur, akibatnya jika rumah mengapung bergerak/berputar mendekati titik keramat maka akan terbalik karena terbentur gundukan tanah. Kaitannya dengan mitigasi bencana, hal ini termasuk kecerdasan masyarakat dalam menghindari bencana yang diakibatkan oleh kontur Danau Tempe itu sendiri.

Keberadaan rumah mengapung di Danau Tempe telah mempengaruhi masyarakat dalam segala bidang kehidupannya, mulai dari religi/kepercayaan, ekonomi, sosial maupun budaya. Selain itu pemukiman mengapung telah memberikan kontribusi positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat setempat. Penentuan bentuk hunian serta tatanan ruang merupakan bentuk adaptasi unik dan cara cerdas masyarakat setempat dalam merespon kondisi lingkungannya.

“Rumah Mengapung Suku Bugis” menjadi referensi pelengkap mengenai studi terhadap Suku Bugis yang telah ditulis sebelumnya. Isinya sangat tepat untuk dijadikan sebagai jalan masuk memahami rumah mengapung Suku Bugis di wilayah perairan Danau Tempe. Selain itu, melalui buku ini menjadi bukti bahwa masyarakat tradisional di Indonesia, khususnya masyarakat Suku Bugis, telah mempunyai keraifan lokal mengenai konsep hunian dan bermukim mereka dalam kaitannya untuk merespons lingkungan sekitar.

0 komentar

Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun