Kami (Bukan) Sarjana Kertas - Kholil Media |
Novel “Kami (Bukan) Sarjana Kertas” merupakan buah karya Jombang Santani Khairen (J.S. Khairen), penulis lulusan Universitas Indonesia yang telah menghasilkan banyak tulisan. Novel ini termasuk karya terbarunya yang diterbitkan pada bulan Februari 2019 (cetakan pertama) oleh Penerbit Bukune Kreatif Cipta sebanyak x + 362 halaman. Tidak butuh waktu lama semenjak diterbitkan, novel ini masuk dalam jajaran best seller di berbagai toko buku ternama di Indonesia, sebagai contohnya sebut saja Gramedia.
J.S. Khairen membuka tulisan dengan menjelaskan kehidupan tujuh mahasiswa baru, sebagai tokoh utama, yang berkuliah di kampus Universitas Daulat Eka Laksana (UDEL), sebuah kampus swasta yang jauh dari kata elite sebagai incaran para siswa untuk melanjutkan pendidikannya. Universitas tempat para mahasiswa yang "terpaksa" memilihnya untuk sekadar mengisi waktu daripada menjadi pengangguran di rumah. Jauh berbeda kondisinya dengan Universitas Damba Inspirasi Negeri (UDIN), yang merupakan kampus nomor satu di Indonesia, tempat para mahasiswa terbaik negeri ini.
Tujuh mahasiswa baru itu adalah Ogi Mandraguna (Ogi), jurusan ilmu komunikasi, terpaksa kuliah karena ajakan temannya dan memiliki ketertarikan dengan dunia teknologi; Randi Jauhari (Ranjau), jurusan ilmu komunikasi, ditolak di kampus negeri impiannya dan ambisius; Arko, jurusan ilmu komunikasi, santai dan seorang fotografer profesional; Gala Gentara Putra (Gala), jurusan arsitektur, keluarga konglomerat, jenius dan pendiam; Juwisa, jurusan bisnis dan manajemen, religius dan kreatif; Sania, jurusan akuntansi, penyanyi rocker, mandiri, dan aslinya pintar; dan Catherine Aprilia (Catherine), jurusan hukum, cantik dan kemampuan bahasa Inggrisnya tidak perlu diragukan lagi.
Ketujuh mahasiswa itu berasal dari jurusan dan fakultas berbeda, kecuali Ogi, Ranjau dan Arko. Mereka disatukan dalam satu kelompok kecil, pembagian dari kelas konseling saat program pembinaan mahasiswa baru. Setiap kelompok dibina oleh satu dosen dan pembina mereka yaitu Lira Estrini, Ph.D (Bu Lira) yang merupakan lulusan Amerika dan anak pemilik yayasan kampus UDEL.
Kelompok itu pula yang menjadi wadah pembinaan mahasiswa hingga lulus. Ogi ditunjuk sebagai ketua kelompok kecilnya. Pembentukan kelompok seperti itu jarang atau bahkan tidak ditemukan di kampus-kampus negeri. Kebijakan seperti itu merupakan terobosan rektor baru, H. Prof. Dr. Der Soz. Areng Sukoco, Ph.D, M.Pd., M.Ag., M.Sc.,yang berusaha membawa kampus UDEL menjadi lebih baik lagi. Di masa kepemimpinan rektor baru ini banyak kebijakan yang bertujuan untuk membenahi kualitas kampus UDEL, tidak hanya dari mahasiswanya, namun juga perubahan terhadap peraturan dosen dan birokrasi kampus.
Pada awal kelas konseling, Bu Lira mewanti-wanti mahasiswa baru untuk kelak tidak sekadar menjadi ‘Sarjana Kertas’, yang tidak siap melewati kehidupan sesungguhnya di luar kampus. Perkuliahan telah berjalan selama setengah semester. Ogi yang memang kuliah karena ajakan teman pada keberjalanannya selalu malas-malasan setiap datang di kelas dan mempelajari materi perkuliahan.
Kondisi itu menyebabkan banyak mata kuliah yang tidak lulus, sehingga memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang rendah. Padahal salah satu kebijakan baru di kampus UDEL adalah mahasiswa yang IPK selama dua semester dibawah standar maka akan dikeluarkan/Drop Out (DO). Setelah hasil UTS dan IPK keluar, Bu Lira mengumpulkan kelompok kecil konseling bimbingannya. Setelah berkumpul, Bu Lira, meminta mereka untuk menuliskan impiannya di secarik kertas lalu dimasukkan di kotak kaca. Tulisan itu akan mereka buka kembali setelah wisuda kelulusan.
Bu Lira juga mengingatkan bahwa masing-masing dari mereka harus menjadi ‘anjing’ yang setia dan selalu menyalak kepada teman yang lain untuk memberikan semangat dalam mencapai impiannya.
Waktu terus berjalan, kehidupan mereka sangat beragam. Berbagai kejadian dan konflik menghampirinya. Sania menjadi terbiasa menikmati ‘seisap dua isap’ sebagai pelampiasan rasa lelahnya dalam menjadi penyanyi kafe untuk memenuhi biaya perkuliahan. Ia akhirnya juga mengajak Ogi untuk menikmati barang haram itu. Ogi yang menjadi kecanduan akhirnya menjadi lalai, menyebabkan kehidupannya menjadi berantakan. IPK yang tidak kunjung membaik menjadi kepastian bahwa dia bakal DO, menambah keinginan untuk kuliah semakin tidak berguna.
Permasalahan ditambah dengan rumahnya yang kebakaran, padahal pekerjaan bapaknya hanyalah membuka bengkel kecil-kecilan di pojok pertigaan jalan. Akhrinya keluarga Ogi pindah ke rumah bibinya, padahal utang emas untuk biaya perkuliahannya belum dibayar. Selang beberapa waktu bapaknya meninggal dunia. Permasalahan yang semakin menumpuk menyebabkan Ogi semakin frustrasi hingga dia melakukan percobaan bunuh diri, namun akhirnya berhasil digagalkan oleh teman-temannya.
Di sisi lain Juwisa yang hanyalah anak pengemudi ojek online semakin kesulitan perihal biaya. Menyebabkan ayahnya berencana untuk mengajak pulang ke kampung dan memintanya untuk segera menikah. Sedangkan Catherine akan pindah kuliah karena mendapatkan beasiswa ke Belanda. Juga permasalahan Gala yang selalu mendapatkan tekanan dari ayahnya untuk keluar dari UDEL dan segera melanjutkan posisi sebagai pemimpin perusahaan.
Pada akhir semester dua mereka melakukan liburan bersama di pulau pribadi milik keluarga Gala. Di sana menjadi kesempatan mereka untuk saling mengenal satu sama lain dan mencurahkan isi hati, menceritakan permasalahan ke sesama agar bisa saling memberikan semangat. Bu Lira yang turut serta dala liburan itu selalu memiliki cara lain untuk mendidik mahasiswa kelompok binaannya. Dia memberikan analogi kisah kecoa yang selalu bisa bertahan meskipun meteor menimpanya. Begitupula dengan mereka yang harus bisa seperti kecoa, bertahan dalam kondisi apapun meskipun banyak permasalahan yang terjadi. Liburan itu akhirnya menjadikan ikatan di antara mereka menjadi lebih erat.
Setelah DO, Ogi mengisi kesibukan untuk mempelajari teknologi. Dia mendapatkan kesempatan belajar langsung dengan Miral, seorang mahasiswa informatika di Kampus UDIN. Di satu kesempatan, dia memperoleh peluang belajar teknologi dengan komunitas skala internasional dalam ajang pertemuan sedunia di Bali dalam waktu tiga bulan. Sejak saat itu kemampuan bahasa Inggris Ogi meningkat tajam, dari yang sebelumnya tidak bisa sama sekali menjadi lancar seperti penutur aslinya. Kesempatan itu pula menjadikan Ogi mendapatkan peluang besar dengan ditawari bekerja di perusahaan raksasa bidang teknologi di Silicon Valey, yaitu Google Inc.
Baca juga: Berdamai dengan Kehidupan
Di sisi lain, Juwisa berusaha untuk mandiri dengan melakukan berbagai bisnis agar bisa membiayai perkuliahannya. Namun beberapa kali dia mencoba tetap saja kegagalan yang ditemuinya. Akhirnya ada kesempatan bussines plan yang diselenggarakan oleh Kampus UDEL. Juwisa bersama dengan Gala dan Arko satu tim untuk mengikuti kompetisi itu. Berbagai ide mereka bahas hingga akhirnya menemukan ide mendirikan start up bagi para pelaku seni untuk berhubungan dengan pelanggannya.
Tidak ada kendala berarti bagi mereka dlam menyusun karya tulisnya, namun dalam pembuatan platform-nya mereka mengalami kesusahan. Pada akhirnya mereka diumumkan sebagai juara dalam kompetisi tersebut. Tim yang menang akan maju dalam kompetisi tingkat nasional mewakili UDEL. Konflik terjadi ketika Gala mengundurkan diri dari tim karena mengetahui bahwa yang menjadi juri dalam kompetisi itu adalah ayahnya sendiri, dia digantikan oleh Ranjau. Mereka gagal, sedangkan Kampus UDEL keluar sebagai juara utama. Ranjau yang tidak bisa mengendalikan diri akhirnya membuat tindakan yang memalukan.
Masih banyak bagian cerita dalam novel yang patut dibaca dan diikuti. Seperti kisah saat pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang membawa pelajaran bahwa untuk membantu orang pun harus ada tingkat kepekaan tertentu. Belum tentu apa yang baik menurut kita, cocok pula untuk orang; kisah saat Gala belajar menjadi mandor lapangan di perusahaan milik ayahnya; kisah lamaran Juwisa yang batal karena kedatangan teman-temannya dan Bu Lira; kisah tertangkapnya Sania saat melakukan seisap dua isap; kisah Pak Jaharizal, M.Sos., sosok dosen yang tidak mau menerima perubahan, beserta teman-teman sejenisnya yang hanya mau menikmati semua demi kepentingan diri sendiri yang pada akhirnya menjadi batu besar penghalang kemajuan Kampus UDEL; menjadi bagian dari beberapa kisah yang menarik dalam novel ini.
Meskipun pada bagian awal-awal cukup panjang, terutama dalam pengenalan setiap tokohnya, namun alur cerita dalam novel ini susah untuk ditebak sehingga akan memberikan pengalaman tersendiri bagi para pembacanya. Agaknya penulis membawa para pembaca untuk memahami kehidupan dunia kampus yang dikenal sebagai ‘menara gading’ dengan segala kompleksitas kehidupan civitas akademika di dalamnya. Oleh karenanya novel ini menjadi cocok untuk dibaca oleh semua orang, baik mahasiswa, dosen, calon mahasiswa, masyarakat, pelaku start up, bahkan pengemudi ojek online sekalipun.
Oh ya, sekadar informasi bahwa novel ini bakal ada lanjutannya lho pada tahun yang sama juga. Kisah selanjutnya akan tertuang dalam novel berjudul “Kami (Bukan) Jongos Berdasi. Jadi siap-siap untuk membaca bagian selanjutnya yaaaaa.....
***
“Jadi sarjana atau tidak, itu Cuma di atas kertas! Banyak sarjana menganggur juga. Banyak orang tak sekolah tinggi tapi sukses. Banyak sarjana, begitu bekerja ternyata tidak bisa apa-apa. Masuk kantor gagah, pulang-pulang gagap. Dunia profesional menuntut begitu tinggi, tak sampai napas mereka berlari. Banyak sarjana tak pandai ilmu hidup, hanya ilmu silabus saja. Sarjana kertas.” – J.S. Khairen.
Tidak ada kendala berarti bagi mereka dlam menyusun karya tulisnya, namun dalam pembuatan platform-nya mereka mengalami kesusahan. Pada akhirnya mereka diumumkan sebagai juara dalam kompetisi tersebut. Tim yang menang akan maju dalam kompetisi tingkat nasional mewakili UDEL. Konflik terjadi ketika Gala mengundurkan diri dari tim karena mengetahui bahwa yang menjadi juri dalam kompetisi itu adalah ayahnya sendiri, dia digantikan oleh Ranjau. Mereka gagal, sedangkan Kampus UDEL keluar sebagai juara utama. Ranjau yang tidak bisa mengendalikan diri akhirnya membuat tindakan yang memalukan.
Masih banyak bagian cerita dalam novel yang patut dibaca dan diikuti. Seperti kisah saat pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang membawa pelajaran bahwa untuk membantu orang pun harus ada tingkat kepekaan tertentu. Belum tentu apa yang baik menurut kita, cocok pula untuk orang; kisah saat Gala belajar menjadi mandor lapangan di perusahaan milik ayahnya; kisah lamaran Juwisa yang batal karena kedatangan teman-temannya dan Bu Lira; kisah tertangkapnya Sania saat melakukan seisap dua isap; kisah Pak Jaharizal, M.Sos., sosok dosen yang tidak mau menerima perubahan, beserta teman-teman sejenisnya yang hanya mau menikmati semua demi kepentingan diri sendiri yang pada akhirnya menjadi batu besar penghalang kemajuan Kampus UDEL; menjadi bagian dari beberapa kisah yang menarik dalam novel ini.
Meskipun pada bagian awal-awal cukup panjang, terutama dalam pengenalan setiap tokohnya, namun alur cerita dalam novel ini susah untuk ditebak sehingga akan memberikan pengalaman tersendiri bagi para pembacanya. Agaknya penulis membawa para pembaca untuk memahami kehidupan dunia kampus yang dikenal sebagai ‘menara gading’ dengan segala kompleksitas kehidupan civitas akademika di dalamnya. Oleh karenanya novel ini menjadi cocok untuk dibaca oleh semua orang, baik mahasiswa, dosen, calon mahasiswa, masyarakat, pelaku start up, bahkan pengemudi ojek online sekalipun.
Oh ya, sekadar informasi bahwa novel ini bakal ada lanjutannya lho pada tahun yang sama juga. Kisah selanjutnya akan tertuang dalam novel berjudul “Kami (Bukan) Jongos Berdasi. Jadi siap-siap untuk membaca bagian selanjutnya yaaaaa.....
***
“Jadi sarjana atau tidak, itu Cuma di atas kertas! Banyak sarjana menganggur juga. Banyak orang tak sekolah tinggi tapi sukses. Banyak sarjana, begitu bekerja ternyata tidak bisa apa-apa. Masuk kantor gagah, pulang-pulang gagap. Dunia profesional menuntut begitu tinggi, tak sampai napas mereka berlari. Banyak sarjana tak pandai ilmu hidup, hanya ilmu silabus saja. Sarjana kertas.” – J.S. Khairen.
0 komentar
Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang sopan, positif, serta membangun